
Kombinasi Harga Energi dan Pangan Picu Kemiskinan Ekstrem Global
KANTOR DIREKTUR INTELEJEN NASIONAL AS - Rumah tangga miskin (RTM) secara global membelanjakan lebih dari 40 persen pendapatan mereka untuk makanan, dibandingkan dengan sekitar 10 persen di negara-negara berpenghasilan tinggi, membuat populasi itu sangat rentan terhadap harga pangan yang terusmenerus tinggi
Foto: ISTIMEWAJAKARTA - Komunitas intelejen Amerika Serikat (AS) dalam laporan tahunan tentang ancaman di seluruh dunia terhadap keamanan nasional negara itu baru-baru ini menyebutkan kombinasi kenaikan harga energi dan pangan telah meningkatkan jumlah orang yang menghadapi kemiskinan ekstrem dan kerawanan pangan, khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah.
Negara-negara tersebut akan berjuang untuk membalikkan tren tersebut hingga akhir 2023, sampai harga pangan global stabil.
Seperti dikutip dari Kantor Direktur Intelejen Nasional, harga pangan yang tinggi seiring dengan invasi Russia ke Ukraina dan pengurangan ekspor biji-bijian sehingga mengurangi daya beli jutaan rumah tangga dan membatasi kemampuan mereka untuk menyerap kenaikan harga baru.
Seperti diketahui, Russia dan Ukraina adalah salah satu produsen komoditas pertanian terpenting di dunia. Kedua negara tersebut adalah pengekspor bersih produk pertanian dan pupuk ke pasar global, di mana pasokan yang dapat diekspor sering kali terkonsentrasi di segelintir negara.
Sebelum perang, lebih dari 25 negara bergantung pada Russia dan Ukraina untuk kebutuhan lebih dari 50 persen impor gandum mereka. Sebab, rumah tangga miskin (RTM) secara global membelanjakan lebih dari 40 persen pendapatan mereka untuk makanan, dibandingkan dengan sekitar 10 persen di negara-negara berpenghasilan tinggi, membuat populasi itu sangat rentan terhadap harga pangan yang terus-menerus tinggi.
Guru Besar Ekonomi Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan selain ancaman kenaikan harga pangan karena perang Russia-Ukraina, Indonesia juga menghadapi ancaman El Nino (musim kering) yang mengancam produksi pangan Tanah Air.
"Dunia sudah lama menghadapi tekanan harga pangan karena perang Russia-Ukraina. Termasuk pupuk kan juga terbatas pasokan karena bahan baku dari sana juga. Nah, sekarang ini terutama Asean tantangan lebih berat karena ancaman El Nino," kata Dwijono.
Pada awal tahun lalu, Vietnam, katanya, juga sudah menyatakan menghentikan ekspor berasnya demi memenuhi kebutuhan domestik sepanjang 2023, sementara Thailand juga mengurangi ekspor berasnya.
El Nino juga menurunkan produksi padi di Indonesia antara 1-5 juta ton pada 1990-2020. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), realisasi produksi beras pada Februari dan Maret 2023 masing-masing 2,8 juta ton dan 5 juta ton. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yang ditetapkan sebesar 3,6 juta ton dan 5 juta ton.
"Untungnya, Juli ini masih ada hujan. Semoga seperti 2018 lalu diperkirakan El Nino, tapi ternyata hujan sepanjang Juli- September masih datang. Tahun ini, El Nino diperkirakan mencapai puncaknya pada Agustus-September mendatang," kata Dwijono.
Selain beras, Dwijono mengingatkan pasokan gandum sebanyak 10 juta ton impor setiap tahun yang bisa terganggu. Masalah gandum harus benar-benar dibenahi dengan diversifikasi dan substitusi yang pasti dan berkelanjutan.
"Sudah lama diversifikasi jadi wacana, pelaksanaannya belum kita lihat ada keseriusan," tandas Dwijono.
Bergantung Impor
Pada kesempatan terpisah, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Awan Susanto, mengatakan perang pasti memicu krisis pangan global, terutama negara-negara yang sumber pangannya bergantung pada impor. Begitu pula komoditas pangan yang dikendalikan, baik kuasa produksi maupun tata niaganya oleh perusahaan transnasional juga berpotensi mengancam keamanan pangan.
"Untuk mencegah kenaikan harga pangan dan ancaman kelaparan, pemerintah harus mengamankan pasokan dan revitalisasi produksi pangan lokal, melalui penyediaan lahan yang memadai, aplikasi teknologi tepat guna bagi pembenihan/pembibitan, pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan organisasi tani, serta kerja sama/jejaring antardaerah dalam penyediaan pangan," papar Awan.
Dia juga mendorong agar pemerintah daerah (pemda) menyediakan lumbung pangan di daerahnya masing masing, termasuk memetakan daerah surplus dan defisit agar begitu produksi terganggu, daerah surplus bisa membantu daerah yang kekurangan stok.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Cegah Tawuran dan Perang Sarung, Satpol PP Surabaya Gencarkan Patroli di Bulan Ramadan
- 2 AWS Dorong Inovasi Melalui Pendidikan Berbasis STEAM
- 3 Ditlantas Polda Babel awasi pergerakan kendaraan lintas kabupaten
- 4 Penemuan Fosil Purba di Tiongkok Mengubah Sejarah Evolusi Burung
- 5 Persija Jakarta Kini Fokus Laga Lawan PSM Makassar
Berita Terkini
-
Kemenag Pastikan Seluruh Kuota Haji Khusus Tahun Ini Sudah Terisi
-
Studio Tour Harry Potter Pertama di Tiongkok akan Dibuka di Shanghai
-
Berselisih dengan Inggris, Apple Hapus Alat Keamanan Data dari Pelanggan
-
Bima Arya Tegaskan Retret Kepala Daerah Tingkatkan Kapasitas Kepemimpinan
-
Bandarlampung Dilanda Banjir, BPBD: 23 Lokasi Terendam