Sabtu, 21 Des 2024, 02:10 WIB

Kiprah Perempuan Prancis yang Bangkit dari Keterpurukan untuk Selamatkan Sekolah di Thailand

Pendiri Yayasan NAT, Elisabeth Zana, bermain dengan anak-anak didiknya di sekolah Bankuankojan yang juga dikenal dengan nama Natacha School yang ada di Krabi, Thailand, pada 22 November lalu. Setelah terjadinya tragedi tsunami 20 tahun lalu

Foto: AFP/Manan VATSYAYANA

Setelah tragedi tsunami paling mematikan dalam sejarah merenggut putri satu-satunya, Elisabeth Zana sempat mempertimbangkan untuk bunuh diri hingga sebuah sekolah Thailand di dekatnya menyalakan kembali tujuan hidupnya.

Dengan latar belakang pantai yang sempurna di Pulau Phi Phi, perempuan Prancis berusia 79 tahun itu mengenang kembali kekacauan yang tak terlupakan yang ia disaksikannya di tempat yang sama pada bulan Februari 2005.

"Ada tumpukan puing. Kami berjalan berkeliling sambil berpikir mungkin ada mayat di sana. Dan mungkin mayat itu putri saya," kata Zana kepada AFP.

Pada tanggal 26 Desember 2004, gempa bumi berkekuatan 9,1 skala Richter di bawah Samudra Hindia memicu tsunami besar yang menewaskan lebih dari 225.000 orang di belasan negara di seluruh dunia.

Di Thailand, lebih dari 5.000 orang tewas akibat bencana tsunami tersebut dengan sekitar setengahnya adalah wisatawan asing yang berlibur di pantai selatannya dan 3.000 orang lainnya masih hilang.

Putri Zana, Natacha, yang saat itu berusia 35 tahun, berada di Koh Phi Phi ketika tembok air setinggi 10 meter menghantam pulau itu. Pencarian jasadnya memakan waktu sembilan bulan, di mana Zana dan suaminya merasa hidup mereka telah menjadi kacau balau.

"Bagi kami yang tidak punya anak lagi hidup kami seperti sudah berakhir. Godaan untuk bunuh diri terasa sangat kuat," tutur dia.

Yang tersisa di pulau itu saat ini hanyalah tugu peringatan yang sudah mulai rusak di mana resor-resor beton baru menyembunyikan bekas-bekas perkotaan yang porak poranda akibat tsunami.

Penduduk setempat tidak ingin membicarakan trauma akibat bencana tersebut, kata Zana, dan sejumlah keluarga orang asing yang hilang menghindari tempat itu sama sekali.

Untuk mengatasi kesedihannya, Zana memutuskan untuk bertahan dan menghadapinya secara langsung. Pada tahun 2005, ia mendirikan Yayasan NAT untuk membantu anak-anak yang terkena dampak tsunami, menyumbangkan peralatan dan membiayai infrastruktur untuk membantu menyelamatkan sekolah umum Bankuankojan di daratan utama Provinsi Krabi yang tadinya terancam ditutup.

Sebagai mantan guru tari yang tidak bisa berbicara bahasa Thailand, Zana juga membuat program sponsor untuk mereka yang paling tidak beruntung dari 180 muridnya, yang berusia antara tiga dan 11 tahun.

Warisan putri kesayangannya tetap hidup melalui nama alternatif Bankuankojan, "Sekolah Natacha", dan bendera Prancis serta lapangan petanque (permainan tradisional asal Prancis) yang terdapat di taman bermain.

Musik dan Tari

Untuk memperingati 20 tahun tsunami, para siswa menampilkan musik Thailand dan nora, sendratari dan seni akrobatik tradisional dari selatan kerajaan.

Kelas musik sendiri jarang terakomodasi di sistem pendidikan umum Thailand, di mana sekolah-sekolah di pedesaan paling menderita akibat ketidaksetaraan dan kurangnya sumber daya.

"Banyak sekolah yang iri," kata Chanita Jitruk, 56, seorang guru yang terlibat dengan pekerjaan Zana sejak awal.

Ketika Chanita tiba pada tahun 2005, sekolah itu hanya memiliki seperempat murid dari yang dimilikinya sekarang. Saat ini, setengah dari anak-anak sekolah tersebut mendapat manfaat dari hibah bulanan sebesar 1.000 baht (30 dollar AS), yang sebagian besarnya menutupi biaya seragam wajib, yang sering kali menjadi pengeluaran besar bagi keluarga.

"Beasiswa ini penting untuk meningkatkan pendidikan kami," kata salah satu penerima manfaat, Korawi Kaesuk, 10 tahun, kepada AFP.

Gadis kecil yang diberi nama panggilan Pam ini bercita-cita menjadi seorang perawat agar kelak ia bisa membantu banyak orang.

Namun bagi Zana, sekolah ini telah memberinya kehidupan baru. "Sedikit demi sedikit, kedamaian tertentu telah tercipta walau semua itu butuh waktu yang amat lama," ungkap dia. AFP/I-1

Redaktur: Ilham Sudrajat

Penulis: AFP

Tag Terkait:

Bagikan: