Kamis, 21 Nov 2024, 01:15 WIB

Ketidakpastian Ekonomi Global Bisa Dorong Suku Bunga Naik Lagi

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo bersiap menyampaikan keterangan pers terkait hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Rabu (20/11).

Foto: ANTARA/Dhemas Reviyanto

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) mengatakan keputusan untuk menahan suku bunga acuan BI-Rate di level 6 persen bertujuan untuk memperkuat stabilitas rupiah di tengah semakin meningkatnya ketidakpastian geopolitik dan perekonomian global seiring dengan perkembangan politik di Amerika Serikat (AS).

Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 19–20 November 2024 mempertahankan BI-Rate sebesar 6 persen, suku bunga Deposit Facility 5,25 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam keterangan persnya mengenai hasil RDG November, di Jakarta, Rabu (20/11), mengatakan keputusan itu konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk tetap menjaga terkendalinya inflasi dalam sasaran yang ditetapkan pemerintah 2,5 plus minus 1 persen pada 2024 dan 2025, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

“Fokus kebijakan moneter diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak semakin tingginya ketidakpastian geopolitik dan perekonomian global,” kata Perry.

Bank sentral akan terus memperhatikan pergerakan nilai tukar rupiah dan prospek inflasi serta perkembangan data dan dinamika kondisi yang berkembang dalam mencermati ruang penurunan suku bunga kebijakan lebih lanjut.

Ekonom Senior dan Associate Faculty LPPI, Ryan Kiryanto, yang diminta pendapatnya mengatakan ruang menurunkan suku bunga acuan menjadi amat terbatas terutama jika mempertimbangkan perkembangan rupiah yang masih berada dalam tekanan hebat akhir-akhir ini di level 15.900-an per dollar AS, setelah kemenangan Donald Trump sebagai Presiden AS.

Hal itu, jelas Ryan, berdampak pada ketidaknyamanan baru di dunia internasional dan langkah the Fed yang makin pelit atau sulit menurunkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR).

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Y Sri Susilo, menilai langkah BI menahan BI Rate sebagai kebijakan yang tepat berdasarkan kondisi ekonomi saat ini.

Menurut dia, stabilitas kurs rupiah terhadap dollar AS dan inflasi dalam sebulan terakhir menjadi alasan utama BI untuk mempertahankan suku bunga acuan. Langkah BI itu mencerminkan pengelolaan kebijakan moneter yang hati-hati, dengan mempertimbangkan kebutuhan menjaga stabilitas harga dan nilai tukar, sekaligus memberikan ruang bagi pertumbuhan ekonomi domestik.

Dari faktor eksternal, dia mengatakan kalau suku bunga acuan FFR juga tidak mengalami perubahan yang signifikan. “Apalagi kondisi geopolitik global juga relatif tidak berubah dalam beberapa waktu terakhir,” kata Susilo.

1732123743_2c8a050fb6b4494086b9.jpg

Arus Modal Keluar

Dihubungi pada waktu berbeda, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan peluang BI menaikkan suku bunga acuan sangat besar.Jika inflasi domestik melonjak akibat tekanan eksternal, rupiah mengalami pelemahan yang ekstrim, dan kebijakan moneter global seperti AS terus melakukan pengetatan suku bunga yang berpotensi meningkatkan risiko arus modal keluar dari Indonesia semakin besar.

“Penting bagi BI untuk meningkatkan koordinasi dengan pemerintah terkait kebijakan moneter dan fiskal, mengelola ekspektasi publik dan investor melalui transparansi kebijakan BI sebagai panduan bagi pasar mengenai kondisi ekonomi terkini dan langkah-langkah yang diambil oleh BI dan pemerintah,” kata Badiul.

Keputusan BI menahan suku bunga acuan, jelas Badiul, sebagai upaya otoritas moneter memitigasi dan mengantisipasi dampak perkembangan eksternal, seperti geopolitik dan dinamika politik AS yang berdampak pada nilai tukar rupiah.

Pemerintah perlu mengimbangi kebijakan tersebut dengan memperkuat cadangan devisa negara. Pertanyaannya, seefektif apa kebijakan itu mengimbangi tekanan eksternal yang sering kali di luar kendali BI.

Disisi lain, stabilitas rupiah tidak hanya dipengaruhi oleh suku bunga acuan, tetapi juga oleh arus modal asing, inflasi domestik, dan kondisi perdagangan internasional. “Dalam jangka pendek, kebijakan ini mungkin bisa baik, tetapi potensi outflow (keluarnya modal asing) perlu mendapat perhatian.

“Jangan sampai insentif investor menjadi kurang kompetitif karena kebijakan menahan suku bunga,” kata Badiul.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan: