Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 09 Nov 2024, 06:10 WIB

Kebun Teh Cisaruni, Jejak Keemasan Perkebunan Belanda di “Swiss van Java”

Foto: ANTARA/Candra Yanuarsyah/agr

Garut dikenal dengan sebagai wilayah yang dijadikan sebagai pusat perkebunan pada zaman Hindia Belanda. Kala itu teh, kina, dan kopi menjadi komoditas andalan yang dihasilkan dari bumi Priangan timur ini.

1731075921_ff61112998f762abed25.jpg

Pemerintah kolonial Belanda menjadikan Garut sebagai pusat perkebunan berkat adanya kebijakan Preanger Reorganisatie (Reorganisasi Priangan) pada tahun 1871. Salah satu tujuan dari keluarnya reorganisasi tersebut untuk memelihara keamanan dan kesehatan.

Tetapi di saat yang bersamaan dengan kebijakan itu pemerintahan Belanda di Garut mulai menerapkan liberalisasi di bidang ekonomi. Dengan peluang keuntungan yang besar, banyak perusahaan swasta menanam investasi di bidang perkebunan karena kemudahan dalam penanaman modal.

Investasi yang ditanamkan oleh perusahaan swasta Belanda pada 1880-an kebanyakan di bidang perkebunan. Ketika perkebunan teh mulai menghasilkan salah satu tantangannya adalah bagaimana cara membawa hasil bumi dalam jumlah besar ini untuk diekspor dengan alat transportasi yang efektif dan efisien.

Oleh karenanya, pemerintah kolonial Belanda juga membangun infrastruktur jalan raya dan jalur kereta. Pembangunan dari Garut hingga Cikajang dimulai pada tahun 1889 oleh perusahaan Staatsspoorwegen. Jalur yang sayangnya saat ini dalam kondisi nonaktif ini membentang dari utara ke selatan sejauh 28 kilometer.

Namun adanya jalur transportasi berupa rel kereta dari Cibatu-Garut-Cikajang sejuah 47 kilometer menjadikan Garut sebagai tujuan wisata baru kala itu. Pemandangan berbagai gunung seperti Cikuray, Papandayan, Guntur, Sagara, Huraman, Sadahurip, Putrid dan Wayang menjadikannya dijuluki Swiss van Java.

Dengan banyaknya orang-orang Eropa yang ke Garut dengan menggunakan kereta, maka pada akhirnya dibangunlah hotel-hotel untuk menampung wisatawan yang datang untuk berwisata bermunculan. Fasilitas ini disebut dengan Berghotel atau hotel-hotel pegunungan, sesuatu yang baru bagi orang Belanda yang negaranya memiliki wilayah cenderung datar.

Pembangunan hotel di Garut dimulai dari 1890 hingga 1942 dalam dua periode. Periode pertama itu erat kaitannya dengan perbukitan dan kegiatan pariwisata domestik. Periode kedua erat kaitannya dengan munculnya hotel modern karena wisatawan semakin membludak.

Dengan udara yang sejuk dan cenderung dingin di malam hari, Garut saat itu menjadi wilayah pemulihan orang Eropa yang baru sampai di Hindia Belanda. Pemulihan ini juga dilakukan untuk penyembuhan dari penyakit yang datang akibat perbedaan cuaca dengan membangun sanatorium.

Salah satu yang menarik pada zaman itu adalah Perkebunan Teh Giriawas atau dikenal juga sebagai Perkebunan Teh Cisaruni yang terletak di Desa Giriawas, Kecamatan Cikajang. Perkebunan teh Cisaruni atau Giriawas, sebenarnya merupakan gabungan 2 kebun teh dengan nama masing-masing yang terpisah, sehingga ada dua penyebutan tersebut.

Berada di lereng Gunung Papandayan dan Gunung Cikuray perkebunan ini berada pada ketinggian antara 1230 hingga 1640 meter di atas permukaan laut (mdpl). Destinasi ini menawarkan pemandangan yang sangat indah sejauh mata memandang dengan udara yang sejuk. Dengan luas 5.039 hektare, lokasi ini cocok untuk dijadikan tempat melepas kepenatan di akhir pekan.

Para pengunjung bisa berfoto-foto di area kebun teh yang hijau. Menjelajahi perkebunan teh yang memiliki ketinggian berbeda adalah tantangan sekaligus kenikmatan. Dari atas ketinggian ini dapat melihat pemandangan gunung di arah timur laut dan Gunung Papandayan di barat laut.

Perkebunan Teh Cisaruni tidak lepas dari sosok bernama Karel Frederick (KF) Holle. Pada tahun 1829 ia mendirikan perkebunan yang sekarang dimiliki oleh PTPN VIII. Awalnya lahan yang ada diperuntukkan untuk tanaman kopi dan tebu, dan kina. Ternyata tanaman-tanaman tersebut tidak sesuai dengan iklim di lokasi itu sehingga diganti dengan tanaman teh.

Teh yang dihasilkan antara lain adalah teh hitam orthodox yang terkenal di pasar dunia. Saat Jepang berkuasa di NKRI, kebun ini sempat tidak terurus dan ditanami kentang, jagung serta sayur-mayur. Setelah kemerdekaan Indonesia, kebun Cisaruni ditata kembali oleh pemerintah Indonesia. Kebun ini sempat dibumihanguskan oleh pribumi saat Belanda kembali memasuki wilayah Indonesia tahun 1947.

Pada 27 Desember 1957 pemerintah Indonesia kembali mengambil alih perkebunan Cisaruni, kali ini dari perusahaan Belanda, Fawatering und Loeber. Setelah pengambilalihan tersebut, perkebunan Cisaruni digabung dengan perkebunan Giriawas. Sampai saat ini kebun Cisaruni masih dipelihara dengan baik, memproduksi teh orthodoks dan teh hijau yang diekspor ke Jepang.

Menurut catatan sejarah, dalam sekali melakukan ekspor biasanya Perkebunan Teh Cisaruni akan mengirimkan 12 ton teh hitam ke Batavia untuk dikirim ke luar negeri seperti Malaysia dan Jerman. Selain tanaman teh yang subur, perkebunan ini memiliki pemandangan alam yang indah.

Area Fasilitas

Untuk mengenangnya jasa KF Holle, di sini berdiri tugu dengan relief wajah dirinya di wilayah strategis di dekat depan kantor perkebunan. Di tugu ini tertulis Hij sprak het Soedanees als een Soendanees yang artinya “Dia berbicara bahasa sunda seperti orang sunda.”

Tugu ini sebagai sebuah penghargaan yang diberikan oleh masyarakat Garut kepada Holle atas jasanya dalam membangun perkebunan teh dan memberdayakan masyarakat di sana, dengan memberi pendidikan dan pengetahuan cara bercocok tanam dengan lebih baik.

Saat ini Perkebunan Teh Giriawas menjadi salah satu objek wisata yang dikunjungi para pelancong yang mengunjungi Kabupaten Garut. Selain area perkebunan teh, terdapat pula Area fasilitas bermain dan istirahat yang dapat dimanfaatkan oleh para wisatawan.

Hamparan pohon teh yang hijau dan luas menciptakan sebuah pesona keindahan alam yang menenangkan. Selain itu terdapat juga air terjun yang diberi nama Curug Darwin yang letaknya masih di dalam area Perkebunan Teh Giriawas.

Harga tiket masuk ke Perkebunan Teh Giriawas sangat terjangkau, bahkan gratis, hanya perlu membayar biaya parkir 2.000 untuk sepeda motor hingga 5.000 untuk kendaraan roda empat. Kebijakan ini membuatnya menjadi tempat liburan yang ramah kantong. hay/I-1

Redaktur: Ilham Sudrajat

Penulis: Haryo Brono

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.