![](https://koran-jakarta.com/img/site-logo-white.png)
Kebijakan Pro Ekonomi Kerakyatan Efektif Memutar Roda Ekonomi
Paket Kebijakan - Paket Stimulus untuk Mengungkit Daya Beli Masyarakat
Foto: antaraJAKARTA - Pemerintah akan terus menerapkan kebijakan-kebijakan strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Hal itu disampaikan Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka Jakarta, Senin (17/2) saat mengumumkan delapan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025.
Kebijakan itu termasuk stimulus untuk mengungkit daya beli masyarakat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2025.
Kedelapan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi itu, yakni pertama, adalah dampak dari hasil kenaikan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2024.
Kedua, optimalisasi penyaluran bantuan sosial terdiri dari Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) pada Februari dan Maret 2025.
Ketiga, pencairan dana tunjangan hari raya (THR) bagi ASN dan pekerja swasta pada Maret 2025. Kemudian, yang keempat mengenai stimulus Ramadhan-Lebaran 2025 yang mencakup diskon harga tiket pesawat, diskon tarif tol, program diskon belanja seperti Harbolnas 2025, program EPIC Sales 2025, dan BINA Diskon 2025.
Kementerian Pariwisata dan BUMN terkait pun juga menyelenggarakan program mudik Lebaran. Stabilisasi harga pangan juga termasuk dalam stimulus Ramadhan dan Idul Fitri 2025.
Kelima kata Presiden, adalah Pemerintah memberikan paket stimulus ekonomi berupa diskon tarif listrik, PPN DTP (pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah) pembelian properti dan kendaraan listrik, PPnBM DTP otomotif untuk kendaraan listrik dan hibrida, subsidi/pajak DTP motor listrik dan PPh DTP sektor padat karya.
Kebijakan keenam, yakni optimalisasi Makan Bergizi Gratis, dan kebijakan ketujuh pada penyaluran kredit usaha rakyat (KUR), serta kebijakan kedelapan adanya realisasi panen padi yang optimal.
“Sudah ada laporan bahwa produksi beras kita meningkat secara signifikan," kata Presiden.
Devisa Hasil Ekspor
Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata dalam tanggapannya mengatakan delapan kebijakan yang disampaikan Presiden itu merefleksikan beberapa kemungkinan terkait kondisi ekonomi nasional yang tengah berkembang.
Salah satu dugaan Aloysius adalah bahwa pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dilakukan pemerintah tidak memberikan hasil sebanyak yang dikumandangkan, terutama terkait setoran ke Dana Abadi Nusantara (Danantara). Dengan demikian, kewajiban penyimpanan 100 persen Dana Hasil Ekspor (DHE) sumber daya alam bisa menjadi salah satu cara untuk mengalirkan dana ekspor ke Danantara, yang disebut akan mengelola aset senilai 900 miliar dollar AS.
“Kebijakan ini bisa jadi bagian dari substitusi bagi kesulitan fiskal yang menjadi implikasi dari pemangkasan APBN,” kata Aloysius.
Selain itu, Guru Besar UAJY ini juga menilai bahwa kebijakan tersebut memperkuat dugaan bahwa pemerintah sedang membutuhkan cadangan devisa dalam jumlah besar, terutama untuk pembayaran utang, termasuk utang luar negeri yang puncak jatuh temponya akan terjadi tahun depan.
“Tanpa cadangan devisa yang cukup, rupiah akan sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. Ini juga menandakan bahwa beban utang pemerintah semakin besar dan bisa menimbulkan implikasi keuangan yang serius,” tambahnya.
Aloysius juga menyoroti potensi menurunnya kepercayaan investor atau pemberi pinjaman jika skema perpanjangan utang (revolving loan) tidak menjadi opsi utama. Hal ini dapat mempersempit ruang fiskal pemerintah dan berdampak pada stabilitas ekonomi nasional.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa sebelum kebijakan ini diterapkan, telah muncul kesan bahwa sektor pertambangan menginginkan adanya kelonggaran terkait aturan DHE SDA. Dari sebelumnya hanya 30 persen yang wajib disimpan dalam sistem keuangan nasional, kini kebijakan melonjak menjadi 100 persen yang oleh banyak pelaku usaha pertambangan dinilai terlalu tinggi.
“Proses penentuan detail kelonggaran bisa menjadi titik lemah dalam kebijakan ini. Jika kepentingan beraroma rente lebih dominan, maka implementasi kebijakan ini bisa berujung pada keuntungan bagi segelintir pihak, bukan untuk kepentingan nasional,” jelasnya.
Aloysius mengingatkan bahwa jika kebijakan ini tidak diterapkan dengan pengawasan yang ketat, maka tujuan utama untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional bisa tergeser oleh kepentingan kelompok tertentu.
Pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan, selain stimulus, kebijakan-kebijakan yang pro ekonomi kerakyatan akan lebih efektif dalam memutar roda ekonomi, dan tidak menimbulkan ketergantungan seperti bantuan sosial.
“Saya rasa akan lebih efektif jika pemerintah menggerakkan perekonomian rakyat di daerah-daerah dengan menggenjot berbagai program seperti di sektor pertanian atau perikanan,” katanya.
Jika petani dan nelayan makmur, ekonomi desa akan lebih hidup dan ini dampaknya lebih berkualitas dari pada stimulus sejenis bantuan sosial. “Kebijakan-kebijakan yang lebih pro petani harus lebih diutamakan karena nadi ekonomi kita sebetulnya lebih banyak tersebar di desa-desa,” tuturnya.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Kemenag: Kuota 1.838 Jemaah Haji Khusus Belum Terisi
- 2 Kabupaten Meranti mulai laksanakan Program Makan Bergizi Gratis
- 3 Pram-Rano Akan Disambut dengan Nuansa Betawi oleh Pemprov DKI
- 4 Klasemen Liga 1 Setelah Laga-laga Terakhir Putaran ke-23
- 5 Dirut BPJS: Syarat Kepesertaan JKN Bukan untuk Mempersulit Jemaah Haji