Kebijakan Fiskal Justru Perburuk Ketimpangan Sosial
Kawasan Kumuh di Pusat Kota Jakarta I Suasana kompleks permukiman kumuh di pusat kota Jakarta. Kebijakan fiskal pemerintah yang seharusnya bisa menghilangkan kawasan kumuh dengan pemerataan penghasilan, justru memperburuk ketimpangan sosial.
Foto: Koran Jakarta/Wahyu APJAKARTA - Pidato Paus Fransiskus dalam kunjugannya ke Indonesia mengenai pentingnya mewujudkan keadilan sosial seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk melihat kondisi terkini pemerataan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, yang diminta pandangannya, Kamis (5/9), mengatakan bahwa kebijakan fiskal pemerintah selama ini perlu direformasi.
Reformasi fiskal terutama mengenai pengelolaan keuangan negara yang berkaitan dengan utang karena tidak mencerminkan prinsip keadilan sosial sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Menurut Maruf, kebijakan fiskal yang terkait dengan obligasi rekapitalisasi (obligasi rekap) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah contoh nyata dari ketidakadilan sosial. "Jika kebijakan fiskal negara tidak berlandaskan keadilan sosial, seperti dalam kasus obligasi rekap BLBI, maka ini melanggar konstitusi kita.
BLBI memiliki lex specialis, tetapi pada dasarnya melanggar semangat UUD 1945," tegas Maruf kepada Koran Jakarta, Kamis (5/9). Ia menambahkan bahwa kewajiban dari obligasi rekap BLBI telah memiskinkan negara, membebani rakyat dengan utang yang tak kunjung bisa dilunasi. Apalagi dengan kebijakan terus menambah utang yang saat ini sudah mencapai 8.500 triliun rupiah, makin membebani fiskal, terutama untuk membayar bunga dan pokok utang.
"Bayangkan, kita membangun gedung pencakar langit yang uangnya berasal dari utang yang tidak bisa dibayar. Ini seperti kredit rumah mewah yang akhirnya disita bank karena tidak mampu melunasi cicilan. Membangun negara dari utang yang tidak ada jaminan pelunasannya sama sekali, tidak berlandaskan keadilan sosial," kata Maruf. Maruf dalam kesempatan itu juga menyoroti kalau mayoritas rakyat belum merasakan keadilan sosial seperti yang dijanjikan dalam Pembukaan UUD 1945.
"Justru bermunculan adalah kroni-kroni baru, sementara kroni lama masih tetap ada. Kebijakan fiskal yang seharusnya mendukung pemerataan justru memperburuk ketimpangan sosial," kata Maruf. Visi besar dari kebijakan fiskal bukan hanya soal pembangunan infrastruktur, tetapi juga bagaimana membangun manusia dan sistem tata nilai. Sebagai perbandingan, Maruf menyebut Singapura sebagai negara yang menggunakan fiskalnya untuk membangun sistem dan nilai yang kuat.
"Di Indonesia, pelaku korupsi hanya dipenjara, yang ironisnya justru menambah beban APBN. Uang hasil korupsi, hak politik, dan jaminan kesehatan para koruptor tidak dicabut. Sementara di Singapura, hukuman yang diterima koruptor lebih berat dan tidak ada pembiayaan dari negara untuk mereka," jelas Maruf. Dia juga memperingatkan para pejabat Indonesia agar tidak membandingkan rasio utangnya dengan negara-negara seperti Jepang atau Amerika Serikat.
Sebab, ekspor Jepang dan AS besar, dan mereka memiliki piutang internasional yang jauh lebih besar dibandingkan Indonesia. "Ekspor Indonesia masih didominasi komoditas, bukan barang jadi yang memiliki nilai tambah tinggi," tegasnya. Maruf mengatakan utang Indonesia yang terus membengkak tanpa peningkatan signifikan dalam sektor manufaktur atau teknologi hanya akan memperburuk ketimpangan sosial. Kebijakan fiskal yang pragmatis dan berorientasi jangka pendek, seperti fokus pada pembangunan infrastruktur fisik, tidak akan memberikan solusi jangka panjang.
Masih Jauh dari Cita-Cita
Pada kesempatan lain, Manajer Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, mengatakan reformasi fiskal Indonesia seharusnya diarahkan untuk mewujudkan keadilan sosial sebagaimana mandat UUD 1945.
"Sayangnya, hingga saat ini cita-cita keadilan sosial masih jauh dari kenyataan. Artinya, tidak dirasakan merata oleh seluruh rakyat Indonesia," tegas Badiul. Keadilan sosial seharusnya menjadi fondasi kebijakan fiskal dan keuangan negara. Namun, banyak kebijakan justru mengutamakan kepentingan kelompok elite dan kroni, baik yang baru maupun lama, daripada kesejahteraan rakyat. "Contoh, kebijakan obligasi rekapitalisasi BLBI hanya menambah beban keuangan negara untuk menutupi utang segelintir konglomerat hitam," katanya. Rakyat hanya menerima dampak negatif dari kebijakan itu. Urgensi, reformasi fiskal di Indonesia sangat diperlukan guna mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi.
Kebijakan harus lebih transparan, akuntabel, kredibel, dan partisipatif guna memastikan manfaat pembangunan ekonomi dirasakan seluruh rakyat. Tantangan saat ini adalah memastikan pajak yang dibayarkan rakyat ke negara digunakan untuk mengurangi kesenjangan dan perbaikan layanan pendidikan dan kesehatan dasar. Guna mencapai keadilan sosial, pemerintah harus menghapus praktik nepotisme dan kolusi dalam kebijakan fiskal. "Kultur kronisme ini menghambat distribusi sumber daya yang adil dan pada muaranya menjauhkan cita-cita keadilan sosial di Indonesia. Reformasi fiskal tidak hanya jargon. Reformasi harus dinyatakan dalam kebijakan yang konkret," kata Badiul.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dian Anita Nuswantara, mengatakan fiskal secara berkala perlu ditinjau untuk melihat apakah perlu direformasi. Fiskal atau APBN yang sehat harus mengandung nilai-keadilan sosial dan tidak bergantung terhadap utang. Pertama yang pasti disentuh agar berkeadilan adalah alokasi belanja, lalu penerimaan, dan terakhir pembiayaan defisit. "Belanja fiskal harus memberikan pemulihan ekonomi yang berkeadilan dan mendorong tatanan sosial yang lebih baik, seperti menciptakan sumber pendapatan untuk masyarakat miskin sekaligus menekan beban mereka," kata Dian.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- KKP Perkuat Kerja Sama Ekonomi Biru dengan Singapura
- Berkaus Hitam, Pasangan Dharma-Kun Kampanye Akbar di Lapangan Tabaci Kalideres, Jakarta Barat
- IBW 2024, Ajang Eksplorasi Teknologi Blockchain Kembali Digelar
- Desa Energi Berdikari Pertamina di Indramayu Wujudkan Ketahanan Pangan dan Energi
- Genap 70 Tahun, Ini 5 Film Godzilla Kurang Terkenal yang Juga Perlu Ditonton