Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Krisis Pangan I Harga Pangan Diperkirakan Tetap Tinggi hingga 2023

Jutaan Orang Terancam Kurang Gizi karena Pembatasan Ekspor

Foto : Sumber: USDA/kj/ones/and - AFP
A   A   A   Pengaturan Font

» Diversifikasi pangan harus segera dilakukan sebagai salah satu langkah antisipasi.

» Negara-negara yang impor gandumnya tinggi seperti Indonesia harus hati-hati.

PARIS - Badan Pangan Dunia (Food and Agriculture Organizations/FAO) dan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dalam pernyataannya, pada Rabu (29/6) waktu Paris, mengatakan selain ancaman kelaparan, perang di Ukraina yang menyebabkan terhentinya ekspor pangan negara tersebut menyebabkan jutaan orang lagi yang berisiko kekuraangan gizi. Hal itu karena harga pangan global diperkirakan tetap tinggi tahun ini hingga 2023 mendatang.

Dua negara yang berkonflik, Russia dan Ukraina, merupakan eksportir komoditas pangan, khususnya gandum, yang terbesar pertama dan kelima di dunia dengan kontribusi masing-masing 20 persen dan 10 persen dari penjualan global.

Dengan invasi Russia ke Ukraina mengakibatkan penutupan Laut Azov dan Laut Hitam yang memicu penghentian ekspor.

Lebih lanjut, FAO dan OECD mengatakan ekspor biji-bijian dari Ukraina hanya 20 persen dari kapasitas seharusnya karena jalur alternatif, seperti kereta api dan jalan raya, tidak seefisien rute laut.

Proyeksi FAO dan OECD menunjukkan bahwa harga gandum pada 2022/2023 bisa 19 persen di atas tingkat sebelum perang jika Ukraina sepenuhnya kehilangan kapasitas ekspornya dan 34 persen lebih tinggi jika sebagai tambahan ekspor Russia dikurangi setengahnya.

"Dengan ketahanan pangan yang sudah di bawah tekanan, konsekuensinya akan mengerikan, terutama bagi mereka yang paling rentan," kata Sekretaris Jenderal OECD, Mathias Cormann, dalam presentasi FAO/OECD Agricultural Outlook 2022-2031 seperti yang dikutip Antara dari Reuters.

Sekitar 20 juta ton gandum harus meninggalkan Ukraina pada akhir bulan depan untuk memberi ruang bagi panen tahun ini dan menghindari kekurangan pangan di Afrika, kata Komisi Eropa bulan lalu. Pembicaraan diplomatik sedang berlangsung untuk membuka rute laut alternatif.

Jika ekspor Russia terpengaruh, kekurangan gizi akan meningkat sekitar 1,0 persen secara global pada 2022/2023, setara dengan sekitar delapan juta dan 13 juta orang, tergantung pada asumsi tingkat keparahan pengurangan ekspor, kata FAO dalam studi terpisah.

Skenario yang mensimulasikan kekurangan ekspor yang parah dari Ukraina dan Russia yang berlanjut pada 2022/23 dan 2023/24, dan dengan asumsi tidak ada respons produksi global, menunjukkan peningkatan jumlah kekurangan gizi hampir 19 juta orang pada 2023/24.

Harus Direspons

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, M Dwijono Hadi Darwanto, yang diminta pendapatnya mengatakan bahwa konsekuensi mengerikan dari naiknya harga gandum sampai 19 persen pada hari-hari ini adalah peringatan keras bagi semua negara untuk membangun ketahanan pangan.

"Mau butuh peringatan macam apalagi? Ini peringatan natural yang harus segera direspons oleh negara-negara yang impor gandumnya tinggi termasuk Indonesia, 10 juta ton sehari," papar Dwijono.

Dwijono kembali menekankan bahwa kekurangan pangan serius bisa benar-benar terjadi sehingga diversifikasi pangan pokok mesti serius dikerjakan. Selain di sisi produsen diversifikasi pangan juga harus mulai dari sisi konsumen sehingga permintaan meningkat.

Kondisi yang terjadi ini, menurut Dwijono, tidak lagi bisa disepelekan. Berbeda dengan kenaikan harga pangan sebelum-sebelumnya, kenaikan harga pangan kini berlangsung di tengah situasi tekanan dobel, yakni perubahan iklim dan geopolitik yang memanas.

"Akademisi terus memperingatkan bahwa ketergantungan itu berbahaya, politisi seharusnya segera mengambil sikap karena kemunduran negara juga akan menjadi kemunduran politik," kata Dwijono.

Dewan Penasihat Institut Agroekologi Indonesia (INAGRI), Ahmad Yakub, mengusulkan perlunya mendesain solidaritas pangan global. Solidaritas itu penting karena setelah terjadi kelangkaan pasokan akibat produksi dan jalur distribusi terganggu, beberapa negara-negara produsen mengambil kebijakan proteksi pangan nasional dengan menghentikan ekspor.

"Perdagangan pangan dunia juga harus lebih adil dan supply chain yang setara antarnegara di dunia. Indonesia bisa menularkan semangat gotong royong dalam menghadapi situasi ekstrem rawan pangan," katanya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top