Selasa, 31 Des 2024, 00:00 WIB

Jika MBG Berjalan dengan Skema Sentralistik, Celios Ingatkan Potensi Kerugian pada 2025 Bisa Sebesar Ini

Pekerja memasukkan hasil ikan tangkap ke kontainer truk di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Popoh, Tulungagung, Jawa Timur, Senin (30/12).

Foto: ANTARA/Destyan Sujarwoko

JAKARTA – Pemerintah jangan mengandalkan impor dan utang untuk mendukung kelancaran program makan bergizi gratis (MBG). Selain merugikan keuangan negara, langkah tersebut merugikan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan hanya memberi keuntungn segelintir pihak yang ambil untung dari program ini.

Direktur Keadilan Fiskal Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, memperingatkan Presiden Prabowo Subianto harus hati-hati terhadap berbagai praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dalam berbagai sektor. "Jangan sampai mereka menyalahgunakan program ini sebagai peluang untuk menggerogoti anggaran negara demi kepentingan pribadi atau kelompok," tegasnya dalam laporan resmi Celios terkait Program MBG di Jakarta, Senin (30/12).

Risiko inefisiensi anggaran, lanjut Media Wahyudi, juga harus diwaspadai, terutama terkait distribusi rantai pasok yang terlalu panjang sehingga bisa memperburuk ketepatan sasaran dan menghambat keberlanjutan program ini.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira menambahkan program MBG perlu didasarkan pada keberpihakan terhadap peternak dan petani lokal, maupun vendor UMKM yang berdekatan dengan lokasi sekolah. “MBG Jangan sampai menjadi celah masuknya berbagai pangan impor termasuk impor susu yang merugikan peternak lokal, berdampak ke berkurangnya serapan kerja, hingga mengancam stabilitas nilai tukar rupiah," tegas Bhima.

Mitigasi risikonya, lanjut Bhima, memang harus dimulai dari sistem pengadaan barang jasa yang pro produk lokal. "Sebelum MBG efektif berjalan, kami mendorong pemerintah spesifik LKPP (lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah) keluarkan regulasi teknis soal batas minimum konten lokal dalam pengadaan bahan baku MBG," imbuh Bhima.

Seperti diketahui, pemerintahan Prabowo-Gibran menganggarkan dana sebesar 71 triliun rupiah untuk program MBG pada 2025. Sebagai janji politik, program ini sudah pasti akan dijalankan. Namun, di balik janji tersebut, program MBG dihadapkan pada berbagai tantangan terkait efektivitas implementasi, keberlanjutan, transparansi pengelolaan anggaran hingga model penyaluran MBG.

Uji coba MBG tengah dijalankan. Sayangnya, hingga saat ini, pemerintah masih tampak gamang menentukan model yang paling tepat untuk merealisasikannya.

Hasil studi Celios menunjukkan program MBG harus dijauhkan dari kepentingan politik (vested interest) semata, agar tidak berubah menjadi proyek prestise yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Sekitar 46 persen masyarakat Indonesia menyoroti risiko inefisiensi penyaluran, sementara empat dari 10 responden mengkhawatirkan potensi korupsi dalam pelaksanaannya.

Studi ini memperkirakan potensi kerugian hingga 8,5 triliun rupiah pada 2025 jika MBG tetap berjalan dengan skema sentralistik yang diusulkan saat ini. Temuan ini juga menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mendukung kebijakan berbasis ketahanan pangan lokal.

Sangat Rentan

Sementara itu, peneliti Celios, Bakhrul Fikri, mengungkapkan program MBG termasuk ke dalam program pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa sehingga rentan terjadinya praktik korupsi. MBG yang seharusnya mampu mengentaskan kemiskinan struktural dengan perbaikan gizi anak malah menjadi program yang rentan dikorupsi.

Risiko korupsi ini terdapat pada skema penyaluran yang rantai birokrasinya terlalu banyak dan tidak efisien. "Melihat track record korupsi pengadaan barang dan jasa selama ini, maka tingkat korupsinya bisa signifikan," ucapnya.

Redaktur: Muchamad Ismail

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan: