Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pembangunan Ekonomi - Pemerintah Kejar Target Prevalensi "Stunting" 14% pada 2024

Inflasi Bisa Perburuk "Stunting"

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Kenaikan harga, terutama pangan akan mendorong masyarakat kurang mampu terpaksa mengurangi belanja pangan untuk berhemat atau memilih alternatif pangan yang kurang bernutrisi sehingga membuat anak rentan terkena stunting karena kurang gizi atau anemia karena kurang zat besi.

JAKARTA - Inflasi tinggi sangat mempengaruhi prevalensi gizi buruk atau stunting nasional. Tingkat inflasi dan harga komoditas tinggi membuat masyarakat mengerem belanja pangan bergizi sehingga membuat anak rentan terkena stunting.

"Dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), terlihat bahwa semakin rendah pendapatan per kapita masyarakat, semakin rendah pula pengeluarannya untuk pangan bergizi," ujar Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Sulistiadi Dono Iskandar, dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat (31/5).

Menurutnya, akibat inflasi dan kenaikan harga, beberapa masyarakat kurang mampu terpaksa mengurangi belanja pangan untuk berhemat atau memilih alternatif pangan yang kurang bernutrisi. Dia mengatakan kondisi tersebut pun membuat anak rentan terkena stunting karena kurang gizi atau anemia karena kurang zat besi.

Sulistiadi menilai hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan erat antara faktor ekonomi keluarga dengan permasalahan gizi anak. Idealnya, seorang anak harus mendapatkan makanan bernutrisi lengkap, seperti karbohidrat, protein hewani, protein nabati, sayur, dan buah.

Dia juga menuturkan selain faktor sosial ekonomi keluarga, permasalahan gizi juga dapat disebabkan karena tidak terpenuhinya standar kualitas makanan dan kesulitan masyarakat untuk menjangkau pangan bergizi.
Halaman Selanjutnya....


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Antara, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top