Indonesia Butuh Investasi US$14,2 Miliar untuk Pacu Listrik EBT 8,2 GW
Foto: ISTIMEWAJAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan Indonesia membutuhkan investasi sebesar 14,2 miliar dollar AS hingga tahun 2025 guna meningkatkan kapasitas produksi listrik energi baru terbarukan (EBT) menjadi 8,2 gigawatt (GW).
"Kita memerlukan investasi hingga tahun depan (2025) investasi hingga 14,2 miliar dollar AS guna menaikkan kapasitas dari renewable itu hingga 8,2 gigawatt. Kita bisa menaikkan bauran energi terbarukan tahun depan dari 13 persen menjadi 21 persen," kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Rabu (4/9).
Seperti dikutip dari Antara, Eniya menjelaskan beberapa sumber energi terbarukan di Indonesia yang potensi ketersediaannya mencukupi dan melimpah untuk dijadikan sumber listrik yakni, solar sebesar 3.294 gigawatt, energi angin 155 gigawatt, air 95 gigawatt, arus laut 63 gigawatt, bahan bakar nabati 57 gigawatt, dan panas bumi 23 gigawatt.
Menurut Eniya, pihaknya juga sudah menawarkan sumber energi panas bumi yang potensinya besar dan berperan penting dalam mewujudkan nol emisi karbon (Net Zero Emissions/NZE) kepada para investor. "Jadi memang perlu dana yang besar, tetapi bukan tidak mungkin," katanya.
Panas Bumi
Adapun pemerintah Indonesia berencana menawarkan lima wilayah kerja panas bumi pada tahun 2025 dalam Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE), yakni Gunung Lawu, Sipoholo Ria-Ria, Cubadak-Panti, Telaga Ranu, dan Wapsalit.
Sebelumnya, direktur eksekutif lembaga riset independen untuk bidang ekonomi energi dan pertambangan R eforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan pengembangan EBT membutuhkan komitmen kuat dan bahkan perlu intervensi lebih jauh dari pemerintah.
Komaidi menyatakan banyak pengembang EBT di Indonesia dihadapkan pada kondisi pasar yang tidak seimbang dan situasi risiko tinggi, imbal hasil rendah. Saat ini banyak pengembang EBT yang kesulitan menjual produknya karena hanya ada satu pembeli utama, yakni PLN. Kondisi itu membuat posisi tawar pengembang menjadi lemah dan sulit untuk mendapatkan harga yang wajar.
"Pengembangan EBT sekarang ini adalah high risk, low return. Mau jualan, tetapi dihadapkan pada single buyer. Ini yang saya kira harus kita sadari bersama termasuk pengambil kebijakan agar (pengembangan EBT) bisa high risk, high return," katanya.
Redaktur: Marcellus Widiarto
Penulis: Eko S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Selama 2023-2024, ASDP Kumpulkan 1,72 Ton Sampah Plastik
- 2 Kemenperin Desak Produsen Otomotif Tiongkok di Indonesia Tingkatkan Penggunaan Komponen Lokal
- 3 Jepang Siap Dukung Upaya RI Wujudkan Swasembada Energi
- 4 Irena Sebut Transisi Energi Indonesia Tuai Perhatian Khusus
- 5 Perkuat Kolaborasi, PM Jepang Dukung Indonesia untuk Jadi Anggota Penuh OECD
Berita Terkini
- Selama 2024, Bulog Beli 16 Ribu Ton Beras dari Petani Merauke
- Mayoritas Wilayah NTT Berpotensi Hujan Lebat hingga 17 Januari
- Kapolri Sigit tegaskan komitmen dukung kesetaraan gender
- Guna Jaga Inflasi, BI Komitmen Perkuat Efektivitas Kebijakan Moneter
- Batam Imbau Nelayan Waspada Buaya Lepas di Perairan