Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Pemerintah

Indonesia Ajukan Gugatan ke Uni Eropa Terkait Baja Nirkarat

Foto : ANTARA/REUTERS/Muyu Xu

Pekerja mengemas gulungan baja canai dingin di sebuah perusahaan baja di Zhangjiagang, Provinsi Jiangsu, Tiongkok, baru-baru ini.

A   A   A   Pengaturan Font

TIMIKA - Indonesia secara resmi telah mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa terkait dengan pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) baja nirkarat ke Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).

Staf Khusus Menteri Perdagangan bidang Perjanjian Internasional, Bara Krishna Hasibuan, mengatakan kasus ketiga Indonesia di WTO ini berkaitan produk lempeng baja canai dingin nirkarat (stainless steel cold-rolled flat/SSCRF).

"Kita mengajukancaseketiga. Jadi, mereka meng-imposedUE (Uni Eropa)additional import duty," ujar Bara saat berbincang di Timika, Papua Tengah, Minggu (3/12).

Seperti dikutip dari Antara, Uni Eropa mengenakan bea masuk penyeimbang (BMP) ataucountervailing dutyatas SSCRF India dan Indonesia.

BMP yang dikenakan ke Indonesia sebesar 21 persen dan India 7,5 persen, sedangkan BMAD yang dikenakan Uni Eropa sebesar 10,2 sampai 31,5 persen sejak 2021.

Bara mengatakan Indonesia dituding mendapat subsidi dari pemerintah Tiongkok lantaran negara tersebut mendirikan perusahaan baja di Tanah Air.

"Bagi UE ituunfair practices. Jadi sama saja UE membeli produk Tiongkok, tapi pabriknya di Indonesia, tapi disubsidi oleh pemerintah Tiongkok. Mungkin tahun depan dibahas, kita sudah ajukan secara resmi," kata Bara.

Ekspor Meningkat

Bara menyampaikan saat ini permintaan ekspor baja ke Eropa sedang meningkat. Dengan adanya BMAD dan BMP, kerugian yang dialami Indonesia dalam setahun bisa mencapai 40 juta euro atau 569,1 miliar rupiah.

Selain itu, Bara mengatakan Indonesia mendapat sedikit keuntungan saat menunggu dibentuknya badan banding oleh WTO terkait dengan gugatan Uni Eropa tentang kebijakan pelarangan ekspor nikel.

"Bagi Indonesia itu bagus, karena tanpa ada keputusan final. Dalam arti, keputusan final itu ada ditingkat banding. Jadi, apa punpolicy-nya tetap bisa dilanjutkan," ujar Bara.

Bara menyampaikan, sambil menunggu hasil akhir dari banding yang diajukan pada Desember 2022, Indonesia tetap dapat melanjutkan kebijakan hilirisasi nikel.

Lebih lanjut, untuk melanjutkan banding, WTO akan membentuk Badan Banding dan harus mendapat persetujuan dari semua anggota. Menurut Bara, hingga saat ini, Amerika Serikat masih belum memberikan persetujuannya.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top