Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Gempa Megathrust Bukan Mitos, Membangun Budaya Sadar Bencana Lewat Komunikasi Risiko

Foto : The Conversation/Shutterstock/Syariff19

Ancaman gempa ‘megathrust’ mengintai kawasan selatan Pulau Jawa.

A   A   A   Pengaturan Font

Berita mengenai ancaman megathrust sebenarnya bukan hal baru. Pemberitaan serupa sudah muncul di beberapa media sejak beberapa tahun lalu, misalnya pada Maret 2018, Agustus 2019, dan setelah gempa Pandeglang di Banten pada Januari 2022.

Meski demikian, pola pemberitaannya masih fluktuatif, menunjukkan bahwa banyak media belum memiliki pendekatan yang sistematis dan berkelanjutan dalam menyajikan informasi seputar megathrust. Akibatnya, respon publik terhadap berita tersebut cenderung reaktif seperti pembatalan pemesanan di restoran-restoran sekitar kawasan pantai di Gunungkidul, Yogyakarta.

Tak hanya dibayangi ancaman megathrust, banyaknya titik rawan bencana membuat Indonesia rentan terhadap berbagai bencana alam lainnya seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami. Sebagai negara dengan iklim tropis lembap, Indonesia juga rawan banjir dan tanah longsor.

Sayangnya, pemerintah-sebagai pihak yang paling berwenang-acap gagal menyampaikan komunikasi risiko dengan baik, sehingga membuat pemberitaan mengenai bencana sering kali simpang siur. Bahkan, antarinstitusi pun kerap tidak sejalan. Pada medio 2018 misalnya, polisi sempat hendak memidanakan BMKG dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknolog (BPPT) karena informasi mengenai ancaman gempa megathrust yang mereka sampaikan dianggap meresahkan dan merugikan perekonomian lokal.

Dalam situasi seperti ini, Indonesia memerlukan komunikasi risiko yang efektif untuk membangun kesadaran dan kesiapsiagaan berkelanjutan dengan memadukan pengetahuan ilmiah dengan budaya lokal.
Halaman Selanjutnya....


Redaktur : -
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top