Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Tuli Kongenital

Gangguan Pendengaran yang Picu Perkembangan Kognitif

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

"Kelemahan masyarakat di sini adalah menunggu. Menunggu anaknya sampai di usia berapa tahun baru kemudian dibawa ke dokter dan itu terlambat," ungkap Hably.

Tuli kongenital termasuk berbahaya, karena jika tidak mendapatkan pertolongan, anak akan terganggu pada perkembangan kognitif, psikologi dan sosialnya. Akibatnya, ia akan mengalami gangguan proses bicara, gangguan perkembangan kemampuan berbahasa, gangguan berkomunikasi, hingga gangguan proses belajar yang mempengaruhi kepandaiannya. Bahkan tercatat, 5.000 bayi lahir tuli per tahunnya di Indonesia dan berisiko tuli bisu.

Sementara Noise Induced Hearing Loss, yaitu terjadinya penurunan pendengaran atau tuli akibat terpajan bising yang cukup keras dalam waktu lama. Bising keras tersebut adalah di atas 85 desibel sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada reseptor pendengaran di organ corti yang terletak di telinga tengah.

Yang paling umum penyebabnya adalah kebisingan di pabrik, industri, tempat hiburan atau tempat bermain anak-anak dan konser musik. Bahkan Komnas dan Komda PGPK sempat melakukan penelitian dengan mengukur bising di tempat hiburan anak di pusat pertokoan 16 kota besar di Indonesia dan menemukan bahwa rata-rata bising di sana mencapai 93 sampai 128 desibel.

Di Jakarta, angka tersebut mencapai 96,1 desibel. Padahal, batas normal pendengaran manusia adalah 0 sampai 25 desibel dan Kemnaker telah membuat batas aman paparan bising untuk manusia. Yaitu semakin tinggi intensitas bising maka semakin sedikit waktu batas paparannya. Sehingga dalam kasus bising di tempat hiburan anak Jakarta rata-rata dianjurkan menghabiskan waktu di sana selama 30 menit per hari karena efeknya dapat membuat pendengaran menurun.
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top