Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Tuli Kongenital

Gangguan Pendengaran yang Picu Perkembangan Kognitif

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Peringatan World Hearing Day (Hari Pendengaran Dunia), Maret lalu, menjadi momentum agar masyarakat semakin peduli akan kesehatan telinga mereka.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada Febuari 2018, ditemukan sekitar 6,1 persen atau 466 juta orang di dunia mengalami gangguan pendengaran. Jumlah itu mengalami peningkatan dibandingkan yang terjadi pada 2013, yaitu 360 juta orang. Dalam angka tersebut, 44 persen di antaranya perempuan dan 56 persen sisanya diderita laki-laki. Dan sebanyak 34 juta anak di dunia mengalami gangguan pendengaran.

Telinga terbagi dalam tiga bagian, telinga bagian luar, mulai dari liang hingga gendang telinga, telinga bagian tengah, setelah gendang telinga sampai batas saluran belakang hidung dan telinga bagian dalam yang berisikan saraf pendengaran, rumah siput dan yang berhubungan dengan keseimbangan. Setiap orang, memiliki bentuk liang yang berbeda, ada yang lurus dan berliku.

Menurut Hably Warganegara, dokter spesialis telinga, hidung, tenggorok (THT), bedah kepala dan leher RS Pondok Indah Bintaro Jaya, mengatakan, dari banyaknya gangguan pendengaran, ada sekitar empat gangguan pendengaran yang sering terjadi pada anak-anak. Yaitu, tuli kongenital, noise induced hearing loss (gangguan pendengaran akibat bising), otitis media akut dan serumen prop.

Tuli kongenital adalah tuli berat atau sangat berat yang terjadi sejak lahir. Gangguan pendengaran ini bisa karena bawaan riwayat hamil dan riwayat lahir atau didapat semisalnya infeksi setelah lahir. Cara untuk mengetahui apabila anak mengalami gangguan pendengaran, anak belum dapat bicara sesuai usianya atau delayed speech.

"Kelemahan masyarakat di sini adalah menunggu. Menunggu anaknya sampai di usia berapa tahun baru kemudian dibawa ke dokter dan itu terlambat," ungkap Hably.

Tuli kongenital termasuk berbahaya, karena jika tidak mendapatkan pertolongan, anak akan terganggu pada perkembangan kognitif, psikologi dan sosialnya. Akibatnya, ia akan mengalami gangguan proses bicara, gangguan perkembangan kemampuan berbahasa, gangguan berkomunikasi, hingga gangguan proses belajar yang mempengaruhi kepandaiannya. Bahkan tercatat, 5.000 bayi lahir tuli per tahunnya di Indonesia dan berisiko tuli bisu.

Sementara Noise Induced Hearing Loss, yaitu terjadinya penurunan pendengaran atau tuli akibat terpajan bising yang cukup keras dalam waktu lama. Bising keras tersebut adalah di atas 85 desibel sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada reseptor pendengaran di organ corti yang terletak di telinga tengah.

Yang paling umum penyebabnya adalah kebisingan di pabrik, industri, tempat hiburan atau tempat bermain anak-anak dan konser musik. Bahkan Komnas dan Komda PGPK sempat melakukan penelitian dengan mengukur bising di tempat hiburan anak di pusat pertokoan 16 kota besar di Indonesia dan menemukan bahwa rata-rata bising di sana mencapai 93 sampai 128 desibel.

Di Jakarta, angka tersebut mencapai 96,1 desibel. Padahal, batas normal pendengaran manusia adalah 0 sampai 25 desibel dan Kemnaker telah membuat batas aman paparan bising untuk manusia. Yaitu semakin tinggi intensitas bising maka semakin sedikit waktu batas paparannya. Sehingga dalam kasus bising di tempat hiburan anak Jakarta rata-rata dianjurkan menghabiskan waktu di sana selama 30 menit per hari karena efeknya dapat membuat pendengaran menurun.

Namun, anak-anak umumnya bermain di tempat hiburan anak lebih dari 30 menit. Permasalahan lainnya karena penggunaan earphone berlebih. Untuk itu, ia menganjurkan agar menggunakan peraturan 60:60. "60:60 itu artinya mendengarkan earphone dengan volume 60 persen dalam waktu 60 menit. Itu dapat membantu mengurangi gangguan pendengaran," ujar Halby.

Otitis Media Akut (OMA) adalah infeksi akut telinga tengah oleh bakteri atau virus. Biasanya penderitanya merasa penuh, nyeri telinga dan diawali batuk dan pilek. Penyebab paling besar OMA karena batuk dan pilek, namun penyebab lainnya seperti pilek berulang atau rinitis alergi, hipertrofi adenoid dan imunitas rendah.

Selain itu, pada anak-anak, tuba eustachius, saluran yang menghubungkan telinga dan hidung, lebih pendek, lebar dan lurus dibandingkan punya orang dewasa, sehingga jika mengalami batu dan pilek atau radang tenggorokan, bisa memicu OMA.

"Kondisinya tuba eustachius tersumbat karena adanya cairan, jadi gendang telinga menjadi bengkak dan kesakitan," kata Halby.

Jika cairan tersebut menumpuk di belakang gendang telinga dapat mengakibatkan kebocoran. Akibatnya, pendengaran pun menjadi terganggu. Halby menambahkan, jika sudah keluar cairan yang membuat gendang telinga jadi berlubang, diharapkan sesegera mungkin mendatangi dokter THT untuk mendapatkan pertolongan dan jangan sampai terkena air. Karena jika lebih dari satu bulan atau terkena air maka gendang telinga tidak dapat diperbaiki sehingga menjadi kerusakan permanen.

Kelanjutan dari OMA yaitu Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK). OMSK jauh lebih berbahaya dari OMA dengan ciri keluarnya cairan dari telinga lebih dari delapan minggu berwarna kuning dan berbau, serta mengalami gangguan pendengaran.

Karena gangguan ini kelanjutan dari OMA, maka dari itu terapi dini OMA sangat penting untuk dilakukan. Apalagi jika sudah lebih dari dua bulan keluarnya cairan yang dikarenakan gendang telinga yang bolong, nantinya dapat mengenai saraf pendengaran yang terdapat pada telinga bagian dalam dan menyebabkan pendengaran yang semakin lama semakin menurun. gma/R-1

Kenali Jenis Kotoran Telinga

Salah satu permasalahan yang sering dialami hampir semua orang adalah serumen atau kotoran telinga. Sebenarnya, serumen diproduksi dari kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa dan epitel kulit yang terlepas dan partikel debu. Sebenarnya, serumen dapat keluar sendiri akibat migrasi epitel dan gerak rahang seperti mengunyah dan menelan ludah dan berfungsi sebagai proteksi agar tidak ada kuman.

Namun, terkadang serumen dapat mengganggu pendengaran jika menutupi liang telinga meskipun sebenarnya hanya berada pada satu per tiga bagian luar liang telinga dan bisa terdorong ke dalam akibat penggunaan cotton bud.

Halby menuturkan ada empat jenis serumen, yaitu normal, kering, padat dan lunak, dan padat dan keras. Maka dari itu, sebelum membersihkan telinga menggunakan cotton bud harus mengetahui jenis serumen yang ada pada telinga.

"Kalau serumennya normal, nanti akan keluar sendiri. Namun jika menggumpal, padat dan lunak kalau menggunakan cotton bud akan terdorong ke dalam. Sementara yang kering, tidak akan terambil jika pakai cotton bud," jelasnya.

Ia menyarankan, untuk membersihkan telinga hanya kalau gatal saja. Karena jika terlalu dibersihkan akan terluka karena kulit liang telinga tipis. Apalagi membersihkan dengan menggunakan ear candle yang meskipun bisa mengangkat serumen, tetapi akan kembali menumpuk kotoran di dalam telinga.

Untuk itu, Halby menyarankan agar membersihkan serumen atau kotoran di liang telinga ke dokter THT. Dan lagi, jika memiliki masalah gangguan pendengaran, sesegera mungkin memeriksakan diri ke dokter. "Karena berbeda dengan gangguan lainnya seperti di mata, gangguan pendengaran itu gangguan yang tidak terlihat," tutup Halby. gma/R-1

Komentar

Komentar
()

Top