Sugiyanto, Edith Cowan University
Bulan Oktober 2024 lalu, Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Australia Barat menyelenggarakan Road to Indonesia-Western Australia Film Festival (IWAFF). Pergelaran tersebut menampilkan deretan film seperti Eksil, Orpa, Onde Mande!, dan belasan film pendek lainnya karya sineas Jawa Timur. Acara ini merupakan langkah awal menuju festival utama yang akan digelar pada 2025.
Kehadiran sutradara dan produser film seperti Lola Amaria dan Jody Novansyah dalam festival film yang juga dilengkapi acara diskusi serta lokakarya di Curtin University dan Murdoch University membuka forum diskusi lintas budaya guna membangun jalinan hubungan bilateral kedua negara.
Momen tersebut menunjukkan bahwa film bisa menjadi instrumen diplomasi budaya (inisiatif pertukaran budaya yang bertujuan untuk membangun kesalingpahaman antarbangsa) yang efektif. Terlebih, sejak beberapa tahun terakhir, industri film Indonesia sedang berada dalam tren perkembangan yang menjanjikan.
Diplomasi budaya lewat film dan festival film
Film memiliki kekuatan unik untuk melampaui batasan budaya dan membangun empati serta pemahaman antarbangsa. Sebagai medium visual dan naratif, kandungan konten dalam sebuah film mampu menyampaikan pesan-pesan kompleks dalam bentuk yang mudah dipahami oleh audiens dengan berbagai latar belakang.
Sementara itu, festival film merupakan platform ideal untuk mempertemukan berbagai perspektif budaya dan mendorong dialog lintas budaya. Dalam konteks diplomasi budaya, festival film memberikan ruang bagi sineas untuk menampilkan karya-karya yang mewakili identitas, nilai, dan pengalaman unik dari negara asal mereka. Acara seperti diskusi panel, sesi tanya jawab, dan lokakarya yang sering menjadi bagian dari festival ini turut memperdalam interaksi dengan audiens dan menciptakan ruang untuk kesalingpahaman yang lebih mendalam.
Selain itu, festival film memiliki kemampuan untuk menjangkau audiens yang lebih luas, baik melalui pemutaran langsung maupun secara daring.
Banyak negara menggunakan film dan festival film sebagai bagian dari strategi diplomasinya. Jepang melalui Japan Foundation, contohnya, telah menyelenggarakan Japanese Film Festival di Australia sejak 1997.
Representasi film Indonesia di Australia
Hingga kini, keberadaan produk budaya Indonesia di Australia, termasuk film, terhitung rendah. Tidak banyak televisi dan bioskop Australia yang menayangkan film karya anak bangsa. Ketimpangan penayangan film dan series Indonesia, yang ditayangkan program SBS on Demand milik lembaga penyiaran publik Australia, sudah tertinggal jauh dibandingkan Cina atau India.
Salah satu faktor penyebab ketertinggalan tersebut adalah kecilnya angka diaspora Indonesia di Australia. Sensus 2021 mencatat, hanya terdapat 87.075 orang di Australia kelahiran Indonesia, sedangkan warga kelahiran Cina berjumlah 549.618.
Festival film bisa dijadikan sarana promosi efektif bagi film-film Indonesia untuk menemui audiensnya di Australia. Selain masuk pada program di festival bergengsi seperti Melbourne International Film Festival (MIFF) dan Adelaide Film Festival, film Indonesia juga sudah rajin nampang di festival lebih kecil seperti Mini Indonesian Film Festival di Deckchair Cinema, Darwin.
Namun, persoalan representasi dan konsistensi menjadi tantangan paling kentara. Berdasarkan hasil penelusuran arsip yang saya lakukan, sejauh ini sudah ada 59 film lokal yang ditampilkan di MIFF dari tahun 1962 hingga 2023. Inkonsistensi perwakilan Indonesia terlihat jelas. Bahkan, sepanjang 1977 hingga 1985, tidak ada satu pun film Indonesia masuk seleksi.
Keragaman film juga patut menjadi sorotan. Nama-nama sutradara yang kerap tampil di festival internasional cenderung itu-itu saja seperti Mira Lesmana, Garin Nugroho, Riri Riza, atau Kamila Andini. Meskipun karya mereka diakui secara global, para sineas lain juga perlu mendapatkan ruang untuk menunjukkan kekayaan cerita dari Indonesia.
Penyajian produk konten yang beragam dapat memberikan akses kepada penonton untuk mengetahui cerita dan suara yang kerap tak terwakili di media arus utama. Akses ini memungkinkan munculnya pemahaman yang lebih mendalam tentang keberagaman suatu bangsa/negara sehingga mampu melawan stereotipe. Ini merupakan aspek penting dari diplomasi budaya yang bertujuan membentuk ulang persepsi atas budaya lain.
Mengisi celah lewat festival film
Festival film Indonesia di Australia, yang diselenggarakan oleh atau dengan dukungan institusi pemerintah Indonesia, memiliki potensi besar untuk mengisi kekosongan representasi dan konsistensi di atas mengingat fungsi festival sebagai jalur distribusi alternatif. Festival semacam ini bisa menjembatani film nasional yang kesulitan menjangkau audiens mancanegara.
Keunggulan utama dari memiliki festival yang dijalankan oleh institusi Indonesia adalah kebebasan untuk mengkurasi film sesuai dengan kebijakan budaya dan prioritas hubungan internasional Indonesia. Ini seperti yang dilakukan oleh kedutaan dan konsulat dari Uni Eropa yang berpartisipasi dalam festival Cine Europa di Filipina.
Festival yang dikelola secara mandiri memungkinkan penyelenggara untuk menonjolkan tema dan narasi yang mendukung agenda diplomasi budaya Indonesia. Tidak hanya menghibur semata, inisiasi seperti ini juga efektif mengkomunikasikan nilai dan misi Indonesia.
Diplomasi berkelanjutan dan berdampak
Japanese Film Festival (JFF) di Australia bisa menjadi dasar rujukan festival film Indonesia untuk membangun program yang berkelanjutan dan berdampak. JFF sudah konsisten menjadi festival tahunan sejak tahun 1997. Pada awalnya, JFF hanya menayangkan tiga film secara gratis. Tapi berkat konsistensi dan komitmen pemerintah Jepang, JFF berkembang menjadi etalase wajah perfilman Jepang di dunia.
Keberhasilan JFF terletak pada kemitraan strategisnya, program yang beragam, dan dukungan pemerintah melalui The Japan Foundation—organisasi budaya nirlaba yang didirikan untuk mempromosikan pertukaran budaya. JFF tidak hanya menawarkan pemutaran film tetapi juga sesi diskusi dan bertukar pikiran dengan sutradara, acara budaya, dan pameran tematik Jepang yang memberikan pengalaman lengkap kepada audiens.
Indonesia dapat meniru strategi-strategi ini untuk meningkatkan visibilitas film-filmnya dan memperkuat hubungan budaya dengan Australia.
Sebagai representasi negara, KBRI atau KJRI di Australia dapat menggandeng lembaga terkait, seperti Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), yang menganggap film sebagai komponen utama dari ekonomi kreatif nasional. Lembaga seperti Badan Film Indonesia, Perusahaan Film Negara, dan Kementerian Kebudayaan, dan pihak-pihak lain yang berkecimpung di industri perfilman juga dapat memainkan peran penting dalam mendukung inisiatif ini.
Kemudian, pendanaan dan dukungan institusional yang konsisten dapat memastikan bahwa festival ini berlangsung secara reguler, sehingga membangun basis audiens yang loyal dari waktu ke waktu.
Selain kolaborasi dengan sesama lembaga pemerintah atau mitra lain di dalam negeri, kemitraan dengan pihak eksternal juga penting. Dalam hal ini, kerja sama dengan institusi Australia seperti Australian Centre for the Moving Image (ACMI), lembaga-lembaga dengan ketertarikan khusus relasi Indonesia-Australia seperti AIYA dan Indonesia Institute, atau universitas yang memiliki perhatian terhadap bahasa dan budaya Indonesia, dapat memastikan film-film Indonesia menjangkau audiens yang luas dan beragam.
Selain itu, diaspora Indonesia, baik itu masyarakat umum maupun para mahasiswa, dapat menjadi sumber daya tambahan.
Inisiatif seperti IWAFF 2025 memiliki potensi besar untuk memperkuat diplomasi budaya. Dengan strategi jangka panjang yang terencana seperti yang diterapkan oleh JFF, festival film Indonesia di Australia dapat berkembang menjadi acara budaya yang berpengaruh, memperkokoh posisi Indonesia dalam lanskap sinema global sekaligus mempererat hubungan dengan audiens di Australia.
Sugiyanto, PhD Candidate, Communication and Media Studies, Edith Cowan University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.