Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Fenomena Partai Benalu

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Untuk konteks Indonesia, modal sosial dan finansial sama pentingnya bagi politisi. Politisi dengan cukup modal sosial dan financial akan dianggap ideal. Hal ini tampaknya sudah menjadi semacam harga mati yang tak bisa ditawar. Buktinya, menjelang Pilkada Serentak 2018 lalu, muncul kompetisi memperebutkan tokoh-tokoh populer (yang bermodal sosial kuat untuk meraih kemenangan). Juga muncul polemik tentang mahar politik yang makin rame dibicarakan.

Kompetisi merebut tokoh populer kaya tentu memiliki risiko negatif bagi pembangunan demokrasi negeri ini. Sebab ini akan disertai kemunculan fenomena politik uang yang makin masif. Tokoh populer lazimnya akan didukung cukong-cukong besar untuk merebut kemenangan dengan mempraktikkan politik uang.

Selain itu, ada risiko besar lain yang juga belum disadari bangsa. Yaitu partai benalu identik pihak yang hanya ingin berpolitik karena mengincar dana besar atau mau terlibat korupsi berjamaah. Faktanya, begitu banyak elite politik terlibat korupsi berjamaah. Banyak sekali akademikus tidak mau ikut-ikutan berpolitik karena enggan membebani negara dengan biaya sangat besar. Mereka juga tidak ingin terlibat korupsi berjamaah.

Kini, silakan publik menilai, betapa banyak akademikus nyata-nyata kapabel dan berintegritas ternyata tidak mau terjun ke ranah politik, meskipun hidup sederhana karena gaji dan tunjangan jauh di bawah penghasilan elite politik. Harus diakui, adanya akademisi tidak terjun, selalu terbuka kemungkinan politik dipenuhi tokoh-tokoh tak kapabel. Mereka tidak cukup memiliki integritas, sehingga banyak terlibat korupsi.

Begitulah fakta politik negeri ini. Maka, wajar jika muncul wacana untuk kembali menyederhanakan peta politik seperti Orde Baru dengan tiga partai. Penyederhanaan peta politik tersebut, jika bisa dilakukan mungkin akan sangat baik karena bukan era rezim otoriter. Dengan kata lain, penyederhanaan peta politik tanpa paksaan, tentu berbeda dengan paksaan.
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top