Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Fenomena Partai Benalu

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Dr Asmadji As Muchtar

Pohon yang ditempeli benalu tidak bisa berbuah banyak, bahkan bisa layu dan terancam mati. Karena itulah, benalu sering dianggap berbahaya bagi pohon, sehingga harus dibuang. Benalu sangat merugikan pohon. Namun, tampaknya ini tidak berlaku di dunia politik yang justru ada keyakinan bahwa partai besar berkuasa akan semakin kuat jika partai-partai lain rela menjadi benalu.

Keyakinan tersebut tampaknya berdasarkan matematika politik di mana setiap partai memiliki kekuatan meskipun kecil. Jika kekuatan yang kecil-kecil menempel atau bersatu dengan kekuatan besar akan makin kuat. Karena itulah, keyakinan tersebut sering dipertahankan atau dimasifkan dengan membentuk koalisi permanen atau semi permanen dalam jangka waktu tertentu untuk merebut kekuasaan lokal maupun nasional.

Seperti di negeri ini, sejak Era Reformasi memberlakukan sistem multipartai. Fenomena partai benalu muncul dan memasifkan sistem koalisi dalam kontestasi demokrasi lokal maupun nasional. Hasilnya, koalisi terbesar identik dengan terkuat sehingga berhasil menang pemilu lokal maupun nasional. Di dalam sistem multipartai seperti berlaku sekarang, partai politik memang bisa menjadi benalu, jika orientasinya hanya mengejar kekuasaan. Artinya, jika tidak mampu meraih kekuasaan, akan menempel partai lain yang berhasil meraih kekuasaan.

Sebagaimana benalu numpang hidup pohon yang lebih besar, partai benalu juga berusaha bertahan hidup dengan menumpang partai lebih besar. Ini tetap dilakukan, meskipun risikonya akan selalu tetap menjadi partai benalu alias kecil.

Risiko Besar

Di balik fenomena partai benalu, tampaknya ada risiko besar yang belum disadari bangsa Indonesia. Misalnya, risiko kemunculan spirit berpolitik yang hanya menghamba pada kekuasaan. Dalam hal ini, politisi hanya mengincar kekuasaan. Padahal, untuk berhasil memperoleh kekuasaan membutuhkan banyak modal sosial dan finansial.

Modal sosial adalah posisi populer di lingkungan masyarakat luas yang lazimnya sangat berguna untuk memperkuat kedudukan di ranah politik. Terpopuler di tengah masyarakat akan berpotensi didukung banyak rakyat. Sedangkan modal finansial adalah dukungan dana. Pemilik banyak uang banyak akan mudah mendapat kekuatan karena dukungan rakyat bisa dibeli.

Untuk konteks Indonesia, modal sosial dan finansial sama pentingnya bagi politisi. Politisi dengan cukup modal sosial dan financial akan dianggap ideal. Hal ini tampaknya sudah menjadi semacam harga mati yang tak bisa ditawar. Buktinya, menjelang Pilkada Serentak 2018 lalu, muncul kompetisi memperebutkan tokoh-tokoh populer (yang bermodal sosial kuat untuk meraih kemenangan). Juga muncul polemik tentang mahar politik yang makin rame dibicarakan.

Kompetisi merebut tokoh populer kaya tentu memiliki risiko negatif bagi pembangunan demokrasi negeri ini. Sebab ini akan disertai kemunculan fenomena politik uang yang makin masif. Tokoh populer lazimnya akan didukung cukong-cukong besar untuk merebut kemenangan dengan mempraktikkan politik uang.

Selain itu, ada risiko besar lain yang juga belum disadari bangsa. Yaitu partai benalu identik pihak yang hanya ingin berpolitik karena mengincar dana besar atau mau terlibat korupsi berjamaah. Faktanya, begitu banyak elite politik terlibat korupsi berjamaah. Banyak sekali akademikus tidak mau ikut-ikutan berpolitik karena enggan membebani negara dengan biaya sangat besar. Mereka juga tidak ingin terlibat korupsi berjamaah.

Kini, silakan publik menilai, betapa banyak akademikus nyata-nyata kapabel dan berintegritas ternyata tidak mau terjun ke ranah politik, meskipun hidup sederhana karena gaji dan tunjangan jauh di bawah penghasilan elite politik. Harus diakui, adanya akademisi tidak terjun, selalu terbuka kemungkinan politik dipenuhi tokoh-tokoh tak kapabel. Mereka tidak cukup memiliki integritas, sehingga banyak terlibat korupsi.

Begitulah fakta politik negeri ini. Maka, wajar jika muncul wacana untuk kembali menyederhanakan peta politik seperti Orde Baru dengan tiga partai. Penyederhanaan peta politik tersebut, jika bisa dilakukan mungkin akan sangat baik karena bukan era rezim otoriter. Dengan kata lain, penyederhanaan peta politik tanpa paksaan, tentu berbeda dengan paksaan.

Karena risikonya besar dan cenderung negatif, fenomena partai benalu layak dipertimbangkan untuk ditolak. Konkretnya, sebagai pemilik kedaulatan politik, rakyat harus cerdas dalam menentukan dukungan. Jika dukungan rakyat diberikan kepada partai benalu atau koalisi bentukannya, sama saja memberi lampu hijau pada rezim korup.

Disebut rezim korup, jika kekuasaan diraih dan dipertahankan dengan politik uang sehingga selalu direpotkan urusan balik modal dengan menyelewengkan kekuasaan. Karena itu, rezim korup tidak akan berhasil mewujudkan kesejahteraan bangsa. Bahkan, rezim korup cenderung menambah utang.

Sekarang, bangsa bisa menilai sendiri, apakah era Jokow-JK identik rezim korup? Selebihnya, rakyat harus lebih cerdas berpolitik. Caranya, jangan membiarkan partai benalu makin masif di negeri ini. Tak ada keuntungan bagi pembangunan demokrasi.


Penulis Dekan Universitas Sains Alquran, Wonosobo, Jawa Tengah

Komentar

Komentar
()

Top