Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kualitas SDM

Faktor Sosiokultural Pengaruhi "Stunting" secara Lebih Luas

Foto : Antara

Menteri PPPA Bintang Puspayoga

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengatakan faktor sosiokultural dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada anak secara lebih luas.

"Meskipun secara umum penyebab utama pada ibu dan anak adalah kurangnya asupan makanan bergizi serta penyakit, namun jika ditelisik lebih lanjut, faktor-faktor sosiokultural, ekonomi, dan politik yang lebih luas yang mendasarinya," kata Menteri PPPA Bintang Puspayoga dalam Webinar Cegah Stunting, Cegah Infeksi Pada Anak yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (2/2).

Bintang menuturkan bahwa dalam aspek sosial dan budaya masyarakat, stunting berhubungan dengan isu ketidaksetaraan gender. Dalam hal ini, perempuan dan anak sangat terlibat di dalamnya.

Meskipun stunting diketahui banyak disebabkan karena kurangnya asupan gizi, faktor lingkungan dan infeksi berulang, nyatanya perkawinan anak juga bisa memicu stunting.

Bila digambarkan, perkawinan anak membuat banyak anak perempuan terpaksa putus sekolah. Setelah menikah, anak perempuan mempunyai akses yang rendah dalam melanjutkan pendidikannya, menyebabkan kurangnya pengetahuan baik terkait kesehatan atau pola asuh.

Perkawinan anak turut menyebabkan kemiskinan pada perempuan dan anak. Akibatnya, sulit untuk bisa mengakses layanan kesehatan atau memenuhi gizi anak. Belum lagi jika anak dan perempuan harus dihadapkan dengan isu kekerasan di dalam rumah tangga.

"Beberapa isu tersebut hanyalah segelintir contoh, penting kita sadari bahwa menyelesaikan isu stunting tidak akan bisa dilakukan jika kita bekerja sendiri atau menitikberatkan pada sektor kesehatan saja," ujarnya.

Menurut Bintang pengasuhan yang berkualitas bisa dijadikan sebagai kunci utama dalam mencegah stunting. Pengasuhan yang berkualitas dilakukan secara setara antara ayah dan ibu. Orang tua harus mempunyai rasa tanggung jawab, berakal dan berpengetahuan terutama dalam mendidik anak.

Stunting sendiri sudah dijadikan isu prioritas pemerintah. Percepatan penurunan angka stunting telah dinyatakan sebagai program prioritas nasional, melalui Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024. Terlebih angka prevalensi stunting saat ini baru turun dari 24,4 persen pada tahun 2021 menjadi 21,6 persen di tahun 2022.

Terpisah, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyatakan stunting banyak ditemukan pada anak-anak yang berusia enam hingga 24 bulan atau setelah masa ASI eksklusif selesai diberikan oleh ibu.

"Ada banyak titik-titik waktu lain, tapi yang determinannya paling tinggi, yang risk factor-nya paling tinggi, yang menyebabkan stunting paling tinggi adalah masa-masa ibunya hamil dan bayi pada masa enam sampai 24 bulan," kata Menkes Budi Gunadi dalam webinar "Cegah Stunting, Cegah Infeksi Pada Anak" yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.

Menkes menyoroti usia enam hingga 24 bulan pada anak merupakan masa yang sangat rawan, dimana asupan gizi harus ditambah dengan pemberian Pendamping Makanan Tambahan (PMT).


Redaktur : Sriyono
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top