Evaluasi UU Tipikor
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran - Romli Atmasasmita
Foto: istimewaOleh: Romli Atmasasmita
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Tahun 1999 yang diperbaharui Tahun 2001 telah berlaku dan dipraktikan selama kurang lebih 25 (dua puluh lima) tahun, dan sampai saat ini belum menunjukkan keberhasilan dari aspek kualitas maksud dan tujuan dan proses penanganan perkara korupsi baik oleh kejaksaan dan KPK.
Hal ini disebabkan beberapa masalah penyebab: Pertama, kurangnya pemahaman secara utuh atas UU Tipikor secara keseluruhan khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 yang telah menjadi “trade-mark” UU Tipikor di antara 30 (tigapuluh) jenis tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor.
Kedua, praktik peradilan tipikor sampai saat ini belum memberikan kepastian dan keadilan terhadap terdakwa tindak pidana tipikor; baik terhadap terdakwa orang perorangan atau orang lain yang terlibat di dalam perkara tipikor maupun terdakwa dalam jabatan selaku penyelenggara negara.
Ketiga, masih terdapat ketidakpastian hukum mengenai penafsiran unsur perbuatan yang dilakukan secara melawan hukuman unsur menyalahgunakan kewenangan karena kedudukan atau jabatan - yang merujuk pada kedudukan atau jabatan penyelenggara negara, termasuk tidak terbatas pada seorang presiden.
Kedua unsur tipikor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 aquo dalam praktik telah ditafsirkan secara luas sehingga tidak jelas lagi batas-batas kewenangan dan perbuatan yang merupakan pelanggaran pidana dan pelanggaran yang bersifat administratif. Keempat, unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Mengenai unsur kerugian keuangan negara dalam praktik penuntutan dan pemeriksaan perkara tipikor dalam sidang Pengadilan Tipikor dan dipimpin oleh Majelis Hakim khusus tipikor, telah terbukti dengan putusan MKRI telah menimbulkan perluasan kewenangan lembaga yang dibolehkan melakukan penghitungan kerugian keuangan negara sekalipun di dalam UUD45 telah ditegaskan bahwa kewenangan hanya berada pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI;
ditambah lagi dengan SE MA RI tahun 2016 yang menyatakan bahwa, hakim yang memimpin sidang perkara tipikor dapat menentukan penghitungan kerugian keuangan negara.
Selain masalah kewenangan dimaksud, terkait kerugian keuangan negara juga mengenai definisi keuangan negara di dalam UU Nomor 7 Tahun 2003 telah dinyatakan bahwa keuangan negara termasuk harta kekayaan yang telah dipisahkan dari keuangan negara seperti harta kekayaan yang dikelola Badan Usaha Milik Negara, yang telah menimbulkan perbedaan tafsir hukum yang tajam antara pakar hukum keuangan negara, pakar hukum perseroan (BUMN), dan pakar hukum administrasi negara.
Keempat masalah hukum tentang tafsir atas UU Tipikor sebagaimana diuraikan di atas telah membuktikan bahwa UU Tipikor tidak lagi mengandung kepastian hukum bagi para pencari keadilan sehingga telah menimbulkan ketidak adilan bahkan ketidakmanfaatan terutama terhadap proyek pembangunan insfrastruktur seperti diduga adanya kerugian keuangan negara yang ternyata tidak sebanding dengan nilai proyek infrastruktur yang bernilai ratusan trilun rupiah yang mengakibatkan program pembangunan fisik nasional menjadi terpaksa dihentikan dan tujuan proyek pembangunan tersebut tidak efisien efektif.
Pendekatan Hukum
Solusi yang terbaik adalah mengubah pendekatan dan paradigma di dalam upaya pemberantasan korupsi, yaitu dengan pendekatan hukum normatifstatis sepatutnya berkaca pada kegagalan/ ketidakberhasilan selama lebih dari ½ abad lampau, perlu pendekatan baru, analisis ekonomi (analisis ekonomi tentang hukum pidana) yang dilandaskan pada prinsip kesimbangan (equilibrium), efisiensi (efficiency), dan kemanfaatan (utility).
Pendekatan analisis hukum normatif yang dilengkapi pendekatan analisis ekonomi tersebut diharapkan tujuan kepastian dan keadilan dapat diimbangi oleh tujuan efisiensi dan kemanfaatan sekaligus.
Contoh, dalam hal terjadi keuangan negara pada proyek infrastruktur tidak akan serta-merta dituntut dan dihukum dengan sanksi pidana UU Tipikor, melainkan akan dipertimbangkan secara hati-hati cost and benefit ratio untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan penuntutan pidana; jika UU Tipikor baru nanti, dapat dilakukan penundaan penuntutan pidana (Deferred Prosecution Agreement - DPA).
Berita Trending
- 1 Hasil Survei SMRC Tunjukkan Elektabilitas Pramono-Rano Karno Melejit dan Sudah Menyalip RK-Suswono
- 2 Cagub DKI Pramono Targetkan Raih Suara di Atas 50 Persen di Jaksel saat Pilkada
- 3 Pelaku Pembobol Ruang Guru SMKN 12 Jakut Diburu Polisi
- 4 Panglima TNI Perintahkan Prajurit Berantas Judi “Online”
- 5 Tim Pemenangan Cagub dan Cawagub RIDO Akui Ada Persaingan Ketat di Jakut dan Jakbar
Berita Terkini
- Kecanduan Judi Online, Dua Pemuda Ini Nekat Curi Motor Temannya
- Lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia Putaran Ketiga, Timnas Arab Saudi Tiba di Indonesia
- Ratusan Warga Rentan Dibekali Kemandirian Ekonomi
- Upacara pemberangkatan Satgas Kizi TNI Kontingen Garuda
- Stafsus Presiden Ingatkan Dibutuhkan Regulasi untuk Menjawab Perkembangan AI