Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Etika Menteri "Nyaleg"

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Kalau tidak mau dikatakan rakus jabatan atau dianggap tidak tahu etika, mestinya para menteri itu mundur (walau presiden tidak menuntut mundur), saat mendaftar bacaleg. Ini tidak, jabatan menteri tak mau dilepas, tetapi sudah melangkah ke depan dengan nyaleg. Pertanyaannya, andai Presiden Joko Widodo kelak terpilih lagi menjadi presiden dalam Pemilu 2019, dan mengangkat mereka lagi jadi menteri, padahal mereka juga terpilih jadi legislatif? Lalu mana yang akan mereka pilih?

Ini bukan sekadar soal memilih antara jadi anggota DPR dan menteri, tetapi sekali lagi, ini masalah etika bernegara dan negarawan. Kalau mereka memilih jabatan menteri, DPR akan kosong, harus diisi orang lain. Ini mengganggu kinerja DPR.

Ya, semua kembali ke kekuasaan, kemudahan kehidupan, dan akses-akses. Seperti dijelaskan di atas, secara naluriah, tak ada yang mau melepaskan kekuasaan. Semua memang dikembalikan kepada nurani masing-masing, apakah mereka tahu diri, merasa cukup, atau mau terus berkemaruk dengan jabatan.

Berilah peluang atau kesempatan orang lain. Jadi menteri sudah hebat. Jangan juga mau terus menjadi DPR, apalagi kalau pernah menjadi legislatif. Sulit memang mencari orang yang merasa cukup dengan jabatan yang dipegang, walau sudah begitu tinggi.

Rezim ini memang cukup unik. Ada menteri diizinkan. Ada yang dilarang nyaleg. Alasannya pekerjaan menteri yang dilarang nyaleg tak bisa ditinggalkan. Asumsinya, pekerjaan menteri yang diizinkan nyaleg cukup enteng karena bisa ditinggalkan. Walau menteri-menteri hanya diizinkan kampanye pada hari Sabtu dan Minggu (katanya agar tak mengganggu jam kerja) sama sekali tidak benar. Apakah kampanye dua hari berturut-turut, Seninnya tidak lelah?
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top