Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ketersediaan Makanan I Harga Pangan Global Naik 40 Persen dalam 12 Bulan Terakhir

Dunia di Ambang Krisis Pangan

Foto : Sumber: FAO - KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

» Kenaikan harga pangan global merupakan gambaran awal akan terjadinya krisis makanan.

» Brasil telah mengurangi ekspor produk andalannya, jagung dan gula, di tengah kekeringan.

NEW YORK - Ancaman krisis pangan yang kerap disuarakan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organisation/FAO) kini semakin nyata. Dunia benar-benar di ambang krisis pangan.

Dalam indeks harga pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan selama 12 bulan berturut-turut hingga Mei 2021, harga pangan global tercatat naik hampir 40 persen. Bahkan, pada Mei lalu, merupakan kenaikan harga bulanan paling tajam secara rata-rata lebih dari satu dekade. Pada Mei lalu, harga pangan melonjak 4,8 persen dibanding harga pada April 2021.

Ekonom Senior FAO, Abdolreza Abbassian, mengatakan permintaan jagung yang mengejutkan di Tiongkok, kekeringan yang berkelanjutan di Brasil, dan peningkatan penggunaan minyak nabati, gula, dan sereal secara global telah menyebabkan harga melonjak dengan cepat di seluruh dunia.

"Permintaannya mengejutkan semua orang. Permintaan ini membutuhkan respons pasokan yang kuat," kata Abbassian kepada CNN Business, baru-baru ini.

Inflasi global telah menaikkan harga pada hampir semua barang, mulai dari makanan, baja, kayu, dan energi. Di negara-negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation for Economic Co-operation and Development/ OECD), harga melonjak pada bulan April ke tingkat tertinggi sejak 2008.

Penggunaan biodiesel yang lebih tinggi dan kenaikan harga global yang moderat untuk daging dan produk susu juga berkontribusi pada kenaikan tajam harga pangan global. Laporan PBB mengatakan kuotasi minyak sawit internasional mencapai level tertinggi sejak Februari 2011, karena pertumbuhan produksi minyak sawit yang lambat di negara-negara Asia Tenggara dan meningkatnya kebutuhan impor global membuat persediaan rendah di negara-negara pengekspor terkemuka. "Permintaan di sektor minyak nabati secara umum cukup kuat," kata Abbassian.

Brasil sendiri telah mengurangi produk andalannya, jagung dan gula, di tengah kekeringan. Abbassian mengatakan spekulasi tentang berapa banyak jagung yang dihasilkan Brasil dan petani di AS pada musim panas dan awal musim gugur ini menjadi perhatian bagi administrator dan ekonom.

"Ini adalah pertanyaan besar di benak semua orang saat ini," katanya.

"Di sektor sereal, ada banyak masalah dalam hal apa yang akan terjadi dengan produksi tahun ini. Ada banyak pembicaraan tentang kekeringan di Brasil yang benar-benar mempengaruhi pasar jagung," tuturnya.

Tahun ini, harga pangan AS, jelasnya, belum kembali normal setelah pembelian bahan makanan akibat pandemi, sehingga harga pangan melonjak sejak setahun yang lalu. Secara keseluruhan, harga makanan di AS naik 2,4 persen di bulan April dari periode yang sama tahun lalu, sementara harga buah dan sayuran naik 3,3 persen.

Jauhi Impor

Menanggapi ancaman krisis pangan, Guru Besar Pertanian dari UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan kenaikan harga pangan global menunjukkan kebutuhan sebuah negara untuk memiliki kemandirian pangan dan menjauhi impor. Peningkatan permintaan yang memicu kenaikan harga merupakan gambaran awal ancaman krisis pangan. "Seharusnya semua pihak sadar bahwa mengandalkan impor untuk memenuhi ketahanan pangan tidak cukup, bahkan lebih riskan kalau jadi kebergantungan," kata Ramdan.

Setiap negara harus memiliki kemandirian dan kedaulatan pangan untuk mencukupi kebutuhan penduduknya, apalagi pada saat krisis di depan mata, karena pangan adalah kebutuhan manusia paling dasar.

Indonesia yang banyak berharap pada impor justru melemahkan sektor pertanian. Negara-negara lain yang terdampak tentu akan mendahulukan kebutuhan domestiknya masing-masing. Apalagi penurunan produksi tidak hanya pada petaninya saja, tetapi juga mata rantai industri pertanian seperti pupuk, benih, pestisida, dan lainnya.

"Ancaman krisis pangan di masa depan adalah nyata. Kekhawatiran itu beralasan, karena akan banyak negara-negara yang menghadapi krisis pangan disebabkan adanya kompetisi dalam mengonsumsi hasil pertanian," katanya.

Jadi, selain produksi turun akibat luas lahan tanam terus berkurang, ke depan, kompetisi konsumi akan semakin ketat antara pangan dikonsumsi manusia, digunakan untuk pakan ternak, dan hasil pertanian untuk kebutuhan biofuel, yang didorong kelangkaan energi.

n SB/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top