Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 23 Jan 2021, 07:24 WIB

Dua Pengakuan Menkes Budi Gunadi

Menkes, Budi Gunadi Sadikin.

Foto: Istimewa.

Dua pernyataan tegas dan terbuka dari Menteri Kesehatan ( Menkes), Budi Gunadi Sadikin, dalam acara "Vaksin dan Kita" yang diselenggarakan Komite Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Daerah Jawa Barat, yang ditayangkan kanal YouTube PRMN SuCi, Jumat (22/1), patut kita apresiasi dan renungkan.

Pernyataan pertama adalah pengakuan Menkes bahwa sistem pemeriksaan (testing) Covid-19 di Indonesia salah secara epidemiologi.

Seharusnya testing dilakukan kepada orang yang suspek, bukan mereka yang mau pergi keluar. Seharusnya testing dilakukan terhadap orang yang sebelumnya telah melakukan kontak dekat dengan pasien positif Covid-19, bukan kepada mereka yang akan melakukan pertemuan.

Pernyataan kedua Menkes adalah dia kapok menggunakan data Kemenkes sebagai basis data untuk vaksinasi Covid-19. Budi kini beralih mengunakan menggunakan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai basis data untuk vaksinasi Covid-19.

Sejak pemerintah mengumumkan dua kasus pasien positif Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020, untuk pertama kalinya, hingga saat ini, kurva penularan Covid-19 belum menunjukkan penurunan. Malahan yang terjadi makin banyaknya warga yang tertular virus pandemi global ini. Tren penularan makin mengkhawatirkan dan memburuk.

Peringatan tentang berbagai kekeliruan dan kesalahan kebijakan pemerintah dalam menanganani Covid-19, telah berulang-ulang kali dikoarkan sejumlah ahli epidemiologi dan pakar kesehatan lainnya, sejak kasus positif muncul di negeri ini.

Kritik pertama para ahli kesehatan muncul saat pemerintah memasifkan gerakan rapid test. Ahli epidemiologi meminta pemerintah menghentikanrapid testuntuk pendeteksian awal kasusCovid-19. Ahli epidemiologi mengingatkan bahwa rapid testyang berlandaskan antibodi hanya digunakan sebagai survei serologi, bukan untuk pendeteksian awal. Rapid test itu akurasinya hanya 30 persen dibandingkan PCR yang 90 persen. Tapi, kritikan para ahli itu dianggap angin lalu. Dan pemerintah memesan 500.000 alat rapid tes, untuk didistribusikan ke daerah.

Mundurnya Guru Besar Universitas Indonesia (UI) yang juga spesialis urologi, Akmal Taher, dari Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, pada September 2020, juga menjadi indikasi ada sesuatu yang salah dalam penanganan Covid-19 di Indonesia.

Kita sepakat bahwa virus Covid-19 ini adalah hal yang baru dan pemerintah belum terbiasa atau tergagap-gagap dalam menangani pandemi global sejenis ini. Tetapi, kita harus ingat bahwa kesalahan dalam kebijakan penanganan akan berpengaruh pada jumlah kasus Covid-19.

Faktanya, saat ini walaupun testing dilakukan telah melampaui dari target WHO, tetapi angka penularan Covid-19 masih tinggi di negeri ini.

Karena itu, pemerintah harus melakukan introspeksi kebijakan. Jangan sampai anggaran triliunan rupiah yang dikeluarkan untuk penanganan pandemi ini menjadi sia-sia. Yang terjadi anggaran negara bablas dan utang menumpuk. n

Penulis: Arip, CS Koran Jakarta, Dika, Dimas Prasetyo, Dio, Fathrun, Gembong, Hamdan Maulana, Hayyitita, HRD, Ichsan Audit, Ikn, Josephine, Kelly, Khoirunnisa, Koran Jakarta, Leni, Lukman, Mahaga, Monic, Nikko Fe, Opik, Rabiatul Adawiyah, Rizky, Rohmad, Sujar, Tedy, User_test_2, Wahyu Winoto, Wawan, Zaky

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.