Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Perlindungan Produk Lokal I Produk TPT Bisa Terkapar karena Serbuan Barang Impor

Digempur Barang Impor, Pabrik Tekstil Terus PHK Karyawan

Foto : ISTIMEWA

NI MADE SUKARTINI Program Studi Magister Ekonomi Kesehatan, Sekolah Pascasarjana Unair - Produk industri kita belum seefisien di luar negeri. Perbedaan produktivitas tenaga kerja dan harga bahan baku membuat daya saing industri pakaian di dalam negeri lebih rendah.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Salah satu penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan di level 5 persen karena deindustrialisasi dini. Banyak industri seperti pabrik tekstil dan alas kaki pada akhirnya menyerah dan terpaksa merumahkan karyawan mereka karena perusahaan terus merugi.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristiadi, baru-baru ini mengatakan mayoritas pabrik tekstil gulung tikar karena kurangnya permintaan produk.

Sementara itu, peneliti Ekonomi Celios, Nailul Huda, mengatakan dari sisi supply impor dari Tiongkok sangat berpengaruh terhadap permintaan tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri.

"Produk TPT kita kalah bersaing, terutama dari sisi harga. Produk Tiongkok itu bisa masuk ke dalam range harga masyarakat Indonesia. Belum lagi ditambah produk dari Thailand yang juga sudah mulai masuk ke pasar-pasar tradisional," kata Huda.

Kondisi tersebut, jelas Huda, berpotensi mengulang sejarah runtuhnya batik Indonesia pada tahun 1990-an, karena batik printing (cetak) dari Tiongkok.

"Produk TPT kita bisa terkapar karena produk impor ini," kata Huda.

Di sisi lain, pasar produk TPT terbesar Indonesia yakni Amerika Serikat (AS) tengah mengalami penurunan permintaan dalam beberapa tahun terakhir. Akibatnya, permintaan barang TPT dari Indonesia juga menurun.

Kondisi tersebut diperparah oleh produk TPT Tiongkok yang juga masuk ke negara tujuan ekspor Indonesia. Faktor itulah yang pada akhirnya menurunkan produksi sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran.

"Dampaknya pun bisa meluas ke ekonomi makro, karena daya beli masyarakat yang pasti tertekan dan kemiskinan pun bisa mengancam," kata Huda.

Menanggapi mengenai regulasi yang ada, Huda menegaskan sebenarnya aturan yang ada sudah ketat, namun karena pasarnya masih sangat terbuka sehingga barang impor tetap bisa masuk.

Dari sisi pelaku usaha, mereka sangat khawatir dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Aturan tersebut dikhawatirkan mematikan industri tekstil di dalam negeri. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana, berharap pemerintah bisa merevisi aturan tersebut sebab sangat mengancam industri TPT dalam negeri.

"Jika Menteri Perdagangan katakan pelaku usaha terlambat, apa sih yang tidak bisa diubah di negeri ini, masa sekelas Permendag tidak bisa direvisi. Jika tidak direvisi, dikhawatirkan maka akan mengganggu industri padat karya yang menampung banyak pekerja," tandasnya.

Danang menduga terbitnya aturan itu karena tekanan pada importir besar. Dirinya berharap Mendag tidak takut terhadap tekanan importir besar. Pemerintah, tegasnya, harus mencegah PHK besar-besaran di industri padat karya.

Lindungi Produk Lokal

Dihubungi terpisah, peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, menegaskan pentingnya melindungi produk industri lokal dari persaingan yang tidak seimbang. Sebab, langkah seperti itu merupakan kewajiban konstitusional negara, termasuk melindungi dari produk impor.

"Selain melalui regulasi yang prorakyat, juga mesti dilakukan melalui pengembangan sumber daya manusia (SDM), kelembagaan, dan teknologi tepat guna bagi UMKM," tegasnya.

Di kesempatan lain, Koordinator Program Studi Magister Ekonomi Kesehatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Ni Made Sukartini, mengatakan serbuan produk tekstil impor termasuk pakaian bekas (thrifting), disebabkan faktor kebutuhan masyarakat akan mode brand ternama dengan harga terjangkau, sementara daya saing produk lokal masih kalah.

"Dengan image kualitas produk luar lebih berkualitas dan harga yang murah maka sudah pasti produk ilegal ini mendapat tempat di hati masyarakat. Sementara produk industri kita belum seefisien di luar negeri. Perbedaan produktivitas tenaga kerja dan harga bahan baku membuat daya saing industri pakaian di dalam negeri lebih rendah," katanya.

Bila ini dibiarkan dengan semakin banyaknya impor dan dilakukan secara ilegal, kesinambungan produksi industri pakaian di dalam negeri akan terancam. Karena sifatnya padat karya maka dampak selanjutnya bisa PHK dan pengangguran.

"Ini menunjukkan impor yang tidak dikendalikan akan mengganggu kesinambungan usaha bagi industri sejenis di dalam negeri. Kuncinya adalah keseriusan pemerintah sebagai regulator menegakkan regulasi dan impor ilegal harus ditertibkan," pungkas Sukartini.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top