Di Mata Barat, Kereta Sesak Penumpang Jadi Metafora India Saat Ini
Sebuah rangkaian kereta mengangkut para penglaju di Mumbai, India pada 2009. Meskipun telah terjadi langkah-langkah perbaikan dan modernisasi, kereta api masih jadi metafora India kontemporer.
Atribut ini tak lama menjadi narasi publik, terutama bagi mereka yang punya pola pikir Barat. Pada tahun 1929, H. Sutherland Stark, jurnalis majalah berbasis industri, Indian State Railways Magazine, menulis bahwa meskipun "belum berpengalaman" dalam administrasi perkeretaapian dan kontrol lalu lintas, dia tahu bahwa fasilitas perkeretaapian bukanlah masalahnya. Sebaliknya, penumpang India tidak memiliki kesiapan mental, "kepemilikan diri" dan "metode" yang diperlukan untuk bepergian seperti "manusia waras".
Stark menyarankan edukasi penumpang sebagai solusi terhadap "masalah" tersebut dan menjadikan perjalanan kereta api sebagai alat untuk "ketenangan diri dan ketertiban massal".
Dia bukan satu-satunya yang menyarankan kesesuaian antara perjalanan kereta api yang rasional dan perilaku publik yang masuk akal. Pada tahun 1910-an, meskipun mengutuk manajemen kereta api karena melanggengkan penghinaan yang dihadapi penumpang kelas tiga, pemimpin nasionalis Mahatma Gandhi juga menyarankan mendidik penumpang kereta api sebagai sarana untuk membuat warga sipil berperilaku dengan baik.
Metafora yang berlanjut
Lebih dari satu abad kemudian, penggambaran ini terus bertahan, meski secara ironis menjadi kontras untuk memahami India kontemporer. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di The New York Times pada 12 Maret 2005, penulis memuji metro New Delhi yang saat itu masih baru, dengan menekankan bahwa "tidak ada kesan kemelaratan yang kacau dari para penjaja dan pengemis yang menjadi ciri jalur kereta api utama di India, juga tidak ada penumpang yang putus asa yang menggantung di sisi kereta."
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : -
Komentar
()Muat lainnya