Desakan untuk Tinggalkan Energi Fosil Makin Menguat
Foto: Sumber: Kementerian ESDM - KJ/ONES/AND» Pemerintah harus meminta produsen otomotif memproduksi massal mobil listrik.
» Minyak akan langka, mahal, dan bisa jadi bahan bakar tercela dan terlarang.
JAKARTA - Desakan untuk meninggalkan energi fosil yang kotor semakin menguat setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) akhir pekan lalu. Menguatnya desakan itu karena untuk memenuhinya sangat bergantung pada impor, sehingga harganya sangat rentan dan fluktuatif. Selain itu, energi fosil juga memicu polusi udara yang pada akhirnya memicu perubahan iklim dan berujung bencana.
Desakan datang dari berbagai kalangan, mulai dari pemerhati lingkungan, akademisi, hingga para buruh.
Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Tata Mustasya, mengatakan kenaikan harga minyak adalah momentum bagi pemerintah untuk mengakselerasi transisi energi. Sebab, harga BBM yang tinggi ini bisa bertahan lama bahkan menjadi keseimbangan baru. "Kita harus berebut BBM dengan harga tinggi dengan konsumen di negara-negara maju yang pendapatan riilnya sepuluh kali konsumen di Indonesia," jelas Tata.
Dia juga sepakat untuk lebih akselaratif mendorong transisi energi di sektor otomotif sebagai salah satu sektor penyumbang emisi karbon dan memicu jebolnya subsidi yang telah dianggarkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pemerintah, jelasnya, harus meminta produsen otomotif untuk segera memproduksi massal mobil listrik agar harga dan spare part-nya lebih terjangkau. Bukan sebaliknya, memberi insentif fiskal dengan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah (PPnBM) mobil yang justru memicu konsumsi BBM bersubsidi melonjak yang memicu kuotanya lebih cepat habis.
Tata menegaskan jika terus mengabaikan krisis iklim, ongkosnya akan semakin mahal. Biaya sangat besar dikeluarkan untuk menangani berbagai dampak krisis iklim, seperti bencana hidrometeorologi yang intens dan masif, kenaikan permukaan air laut, dan kerugian di sektor pertanian.
Begitu pula dengan risiko kehilangan produk domestik bruto (PDB) sebesar 40 persen berarti hilangnya lapangan kerja, naiknya angka kemiskinan, dan ketidakstabilan sosial politik.
Dihubungi pada kesempatan lain, Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Muhammad Madyan, mengatakan pemerintah perlu menekan perubahan iklim yang dipicu oleh emisi karbon karena ancamannya tidak bisa dianggap sepele.
"Perubahan iklim dapat membawa bencana bagi manusia, seperti mencairnya es di Antartika, banjir bandang di Kalimantan, dan kebakaran hutan yang terjadi di mana-mana," kata Madyan.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, berharap pemerintah bisa menyiapkan energi alternatif lain sebagai pengganti BBM dengan harga terjangkau.
"Mempersiapkan energi alternatif yang lebih murah sehingga masyarakat mempunyai pilihan sehingga harga BBM akan turun," kata Said.
Tambah Beban Negara
Pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, meminta pemerintah segera mengubah skema subsidi dan tidak lagi mensubsidi energi fosil karena hanya menambah beban negara dan tidak sejalan dengan upaya mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060.
"Subsidi sebaiknya dialihkan untuk pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT)," katanya.
Dia mengatakan kalau menerapkan geopolitik internasional, saat ini tidak ada lagi yang diperbolehkan untuk mensubsidi minyak. Minyak akan dipandang sebagai barang ilegal, sumber polusi, dan penyakit, yang malah akan dikenakan cukai oleh negara.
"Harga minyak pasti naik, akan langka, bukan karena tidak ada minyak mentah di dalam perut bumi, tapi tak ada satu lembaga keuangan pun yang boleh membiayai eksplorasi dan eksploitasinya. Sementara perdagangan minyak makin tergencet pajak ekspor impor, konsumsi minyak digencet cukai," kata Salamuddin.
Belum berhenti di situ, setelah kesepakatan Paris dan COP 26 Glasgow, minyak yang langka kembali dikenakan pajak karbon. Tidak main-main, pajaknya mencapai 250 dollar AS per ton karbon yang diproduksinya. Bayangkan, satu liter minyak sama dengan 1,70 kilogram karbon. "Jadi, harga jual BBM sekarang harus naik 1,7 kali lagi. Minyak akan langka, mahal, dan bisa jadi bahan bakar tercela dan terlarang," pungkasnya.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Kepala Otorita IKN Pastikan Anggaran untuk IKN Tidak Dipangkas, tapi Akan Lapor Menkeu
- 2 Presiden Prabowo Pastikan Pembangunan IKN Akan Terus Berlanjut hingga 2029
- 3 SPMB Harus Lebih Fleksibel daripada PPDB
- 4 Danantara Jadi Katalis Perekonomian Nasional, Asalkan...
- 5 Polemik Pagar Laut, DPR akan Panggil KKP