Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Desa Waturaka pernah menjadi desa wisata terbaik. Berada di kaki gunung dengan kekayaan pemandangan, pertanian agro, serta kesenian musik Sato yang khas menjadikan desa di Kabupaten Ende itu mampu menarik banyak wisatawan.

Desa Wisata Agro di Kota Pancasila

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Kabupaten Ende di Pulau Flores adalah tempat Bung Karno pernah merumuskan Pancasila. Di kabupaten ini tidak hanya memiliki daya tarik berupa Danau Kelimutu yang berada di puncak Gunung Kelimutu yang memiliki tiga warna berubah-ubah, karena di kaki gunung ini terdapat Desa Waturaka yang memiliki kekayaan alam, dan budaya menjadikannya sebagai sebagai Desa Wisata Alam Terbaik Nasional oleh Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal pada 2017.
Desa Waturaka awalnya bukan apa-apa sebelum Ignasius Leta Odja membuat jalan desa menuju ke tempat ini untuk membuka akses bagi wisatawan menikmati desanya. Mulai 2011 ia bergerak sendiri membuka jalur ke tempat wisata seperti Air Terjun Murukeba, Pemandian Air Panas Kolorongo, dan Air Panas Kolorongo.
"Kami mendapat penghargaan sebagai desa wisata alam terbaik pada 2017. Ini sebuah pencapaian yang luar biasa," ucap Ignasius.
Kebetulan desa ini memang berada di jalan raya menuju tempat wisata Danau Kelimutu. Kini setiap wisatawan yang datang ke tempat itu dan melewati desa ini akan singgah dan menginap di Desa Waturaka yang berada di Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dari pusat Kabupaten Ende yang dijuluki "Kota Pancasila", Desa Waturaka jaraknya kurang lebih 54 kilometer, sekitar 2 jam dari Kota Ende. Berada di ketinggian sekitar 1.000 mdpl membuat udara desa ini cukup sejuk. Sangat cocok bagi wisatawan untuk menikmati pemandangan desa dan aktivitas penduduknya, apalagi didukung dengan pemandangan pegunungan, dipadukan nilai-nilai kearifan budaya yang sakral dan luhur.
Potensi ini kemudian dikembangkan secara swadaya dengan keterlibatan masyarakat yang seluas-luasnya menjadi sebuah desa wisata dengan konsep agro wisata. Menjadikan desa ini menjadi desa wisata pertanian agro.
Kini hamparan ladang pertanian yang luas dikembangkan menjadi wisata hortikultura, berupa tanaman padi, sayuran dataran tinggi seperti kol, sawi, bawang, daun dan sejenisnya. Wisatawan yang datang diajak untuk merasakan pengalaman bertani di sawah, berladang, dan berkebun.
Wisatawan khususnya mancanegara dikenalkan dengan proses bercocok tanam seperti menyimpan bahan makanan, menciptakan sistem pengairan, menyiapkan lahan, penyemaian bibit, menanam, membersihkan hama hingga proses panen.
Dengan prosesnya yang masih sangat tradisional sesuai kearifan lokal yang ramah lingkungan menawarkan keunikan daya tarik bagi mereka yang sadar akan kelestarian lingkungan. Terjun ke sawah dan berinteraksi dengan para petani adalah pengalaman yang ditawarkan.

Pariwisata Berbasis
Masyarakat
Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat, mengapresiasi warga desa ini yang bertransformasi dari petani tradisional menjadi petani agrowisata yang memberi nilai tambah dan sehingga masyarakat bisa lebih sejahtera.
Konsep pengembangan pariwisata yang dikembangkan di Desa Waturaka adalah community based tourism (CBT) atau pariwisata berbasis masyarakat. Konsep tersebut artinya pembangunan pariwisata yang mengutamakan dan mengedepankan partisipasi dan peran aktif masyarakat.
Melalui konsep CBT atau pariwisata berbasis masyarakat maka segala aktivitas kepariwisataan mulai dari perencanaan, pengidentifikasian potensi, pelaksanaan sampai kepada mengevaluasi semuanya dilakukan oleh masyarakat sendiri melalui Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat hanya berperan dalam penyiapan regulasi dan penguatan kapasitas dan kelembagaan saja.
Untuk mengundang wisatawan Pokdarwis bekerja dengan beberapa travel agent. Selain itu mereka juga telah membangun 20 homestay yang disiapkan sebagai penginapan agar para wisatawan bisa bermalam, apalagi jaraknya dari Kota Ende cukup jauh.
Dengan adanya homestay, wisatawan dapat berlama-lama menikmati desa. Mereka bisa hidup berbaur dan berinteraksi langsung dengan penduduk yang ramah dan diperlakukan sebagai keluarga sendiri sehingga merasa seperti berada di rumah sendiri.
Dulu ketika pandemi belum melanda, penghasilan setiap homestay antara 2 juta hingga 5 juta rupiah sebulan. Sedangkan Sanggar Seni Mutulo'o yang memainkan musik dan tarian dengan melahirkan orkestrasi musik, mampu memberi penghasilan 2 juta rupiah per orang setiap bulan. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top