Nikodemus Niko, Universitas Maritim Raja Ali Haji
“Umur bapak sudah mau 70. Sejak kecil dulu dibawa sama bapak sama ibu pindah ke Mensemut. Dulu Mensemut ni besar, sekarang dah makin kecil.” -Iskandar, 60-an tahun, tetua masyarakat Suku Laut di Pulau Mensemut.
Bayangkan masyarakat yang hidup selaras dengan alam selama ratusan tahun, hidup lebih lama hanya untuk melihat tanah leluhur lenyap tergerus abrasi yang saban tahun semakin parah. Pepohonan di pulau kian berkurang. Binatang-binatang seperti tupai dan burung-burung pun tidak ada lagi yang hinggap.
Ini adalah situasi Pulau Mensemut yang terancam tenggelam karena perubahan iklim. Saya bersama lima mahasiswa meneliti kehidupan kaum adat Orang Suku Laut di Mensemut yang bertahan di tengah perubahan iklim sejak Juli 2024. Orang Suku Laut adalah nomad laut yang kini sudah banyak bermukim di daratan.
Pulau Mensemut (bernama Selentang di platform Google Maps) merupakan pulau kecil seluas tiga hektare di Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Di pulau ini, hidup sekelompok Orang Suku Laut yang menjadikan laut sebagai ruang hidup dan sumber nafkah utama. Mereka menjaring rezeki dari mencari ikan, cumi, dan sebagainya.
Namun, perubahan iklim kini mengancam keberlangsungan hidup mereka. Cuaca ekstrem terjadi tanpa prediksi serta permukaan laut yang semakin naik mengancam kehidupan 15 kepala keluarga Orang Suku Laut yang bermukim sejak lama di Pulau Mensemut.
Warga Mensemut sejak 2012 mulai diminta pemerintah untuk berpindah ke pulau lain yang lebih aman. Pemerintah menganggap Pulau Mensemut sudah tidak lagi layak huni.
Namun, masyarakat Suku Laut di Pulau Mensemut berbeda pandangan. Mereka menganggap pulau itu adalah tempat paling indah, nyaman dan aman dari tempat manapun.
Pada umumnya, masyarakat adat memandang bahwa alam semesta adalah ibu yang merawat dan menyediakan segala kebutuhan manusia. Hubungan psikologis antara masyarakat adat dengan alam tidak terpisahkan, terutama terkait dengan ruang hidup mereka.
Pun bagi Orang Suku Laut di Mensemut. Menurut mereka, menghadapi perubahan iklim bukan hanya tentang bertahan hidup, tetapi juga tentang menjaga memori dan identitas leluhur di pulau ini.
“Di Mensemut ini sudah sangat nyaman. Lahir di sini, banyak hal yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja di sini. Sudah sering kali pemerintah nyuruh kami warga Mensemut ni pindah. Mereka suruh Bapak cari pulau lain untuk bikin rumah.” –Iskandar.
Situasi ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat Suku Laut di Pulau Mensemut, tetapi juga oleh banyak kaum adat di seluruh dunia. Mereka kehilangan tanah, mata pencaharian, bahkan terpaksa berpindah tempat.
Hidup selingkar pulau
Perubahan iklim menimbulkan cuaca dan gelombang ekstrem yang menghantam daratan Pulau Mensemut. Walhasil, abrasi yang terjadi sejak 20 tahun silam mengikis daratan secara perlahan.
Saat ini, hampir sepertiga Mensemut telah tenggelam.
Menurut cerita penduduk, dahulu ada lapangan bola dan terdapat bangunan sekolah dasar di pulau ini. Namun, abrasi merobohkan keduanya menjadi tebing. Bangunan Masjid yang ada saat ini pun sudah tiga kali roboh diterjang badai.
Mayoritas anak-anak Mensemut saat ini tidak bersekolah. Mereka menghabiskan hari untuk bermain ataupun menemani orang tua melaut. Kendatipun ada yang bersekolah, mereka harus pergi ke pulau lain untuk menimba ilmu.
Abrasi juga mengancam rumah-rumah penduduk, membuat jarak antara rumah dengan tepi pantai semakin dekat. Menurut cerita penduduk, abrasi dan badai memaksa mereka berpindah rumah dari pinggir ke tengah pulau.
“Dulu rumah Abang ni di sana (sambil menunjuk tepi Pantai), dua kali roboh karena tanah jadi longsor. Jadi tepi laut tu dulu, bekas rumah Abang. Dulu laut nya masih agak jauh dari rumah. Sekarang Abang pindah rumah agak masuk ke dalam pulau ni pun, air laut semakin dekat.” -Sadri, 38 tahun, warga Pulau Mensemut.
Saat musim angin utara (mulai November hingga Maret), badai datang lebih kencang. Selama musim tersebut, mereka bermigrasi pindah ke pulau lain untuk menghindari risiko apabila angin kencang merobohkan rumah atau pohon-pohon.
Di antara mereka ada yang mengungsi ke Pulau Hantu. Ada juga yang berpindah ke Pulau Nona. Dengan perahu pompong (perahu motor), perjalanan ke dua pulau tersebut kurang lebih satu jam dari Pulau Mensemut.
Pulau Mensemut pun tak lagi memiliki air bersih. Pasokan air mereka peroleh dari menampung air hujan. Apabila musim panas tiba, mereka harus melakukan barter dengan hasil tangkapan mereka dengan kapal sucheng—kapal keliling penjaja kebutuhan sehari-hari di Perairan Lingga.
Sementara itu, jika penghasilan tidak mencukupi, mereka terpaksa mengangkut air dari Tanjung Niang (daratan Pulau Lingga) yang berjarak sekitar 3 jam perjalanan laut dari Mensemut.
Masalah kesehatan pun menjadi catatan karena tak ada tenaga kesehatan apalagi fasilitas yang lengkap. Untuk berobat, warga terbiasa mengandalkan obat-obatan herbal yang tersedia di pepohonan (mereka menyebutnya hutan). Sementara itu, fasilitas kesehatan terdekat—dengan peralatan seadanya—berlokasi di Pulau Pena'ah yang berjarak satu jam menggunakan pompong.
Menolak pindah
Warga Mensemut memang mengkhawatirkan tempat tinggal mereka akan lenyap dalam puluhan tahun ke depan. Pulau ini pun tak lagi menyediakan semua kebutuhan dasar mereka.
Namun, hal itu bukan menjadi alasan mereka mau berpindah dari pulau ini.
“Ibu tidak pindah karena tidak betah mengemas semua perabotan. Banyak perabotan yang sayang kalau di tinggal, di sini ndak ada orang. Memang sering juga pindah ke Pulau Hantu dulunya, tapi ndak betah juga bolak balik bawa perabot banyak” Milah, 36 tahun, perempuan warga Mensemut.
Mereka justru khawatir, apabila berpindah di pulau lain, mereka tidak dapat mencari nafkah seperti di Mensemut.
“Ikan dan cumi di sini masih mudah dapat. Tak jauh-jauh dari pulau ni, dapat lah. Masih mudah lah, banyak orang dari pulau lain mencari ikan mencari cumi di dekat sini juga” Ju, 30 tahun, Ketua RT Pulau Mensemut.
Selain kekhawatiran dalam penghidupan sehari-hari, ada juga stigma warga desa dari pulau lain yang menganggap bahwa orang Suku Laut masih mistik dan memiliki ilmu hitam. Misalnya, sebelum berlayar ke Pulau Mensemut pun, saya diingatkan warga Pena'ah (orang Melayu kepulauan) agar tidak meludah ataupun kencing sembarangan.
Stigma ini menjadikan warga Mensemut ragu untuk berpindah karena harus hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya.
Kebijakan pemindahan yang tidak tepat
Salah satu kekuatan utama masyarakat Suku Laut di Pulau Mensemut adalah pengetahuan lokal mereka tentang alam. Mereka memahami pola cuaca, arus laut, dan tanda-tanda alam lainnya, yang menjadi panduan dalam kehidupan sehari-hari.
Di tengah ancaman perubahan iklim, mereka terus menjaga pengetahuan ini, memanfaatkannya untuk mencari cara bertahan yang sesuai dengan kondisi alam yang berubah.
Memindahkan orang Suku Laut ke pulau-pulau lain bukanlah solusi yang mudah untuk mereka terima. Mereka secara terang-terangan tidak bersedia meninggalkan pulau yang menjadi rumah bagi mereka dan nenek moyang sejak ratusan tahun lalu.
Alih-alih memaksa relokasi, pemerintah dapat meredam dampak perubahan iklim yang sesuai dengan kondisi Mensemut. Misalnya melalui penanaman mangrove ataupun pembuatan tanggul serta pemecah ombak.
Pemerintah juga dapat meringankan upaya adaptasi warga dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pasokan air bersih, fasilitas dan tenaga kesehatan, listrik, dan pendidikan. Perumusan program ini wajib melibatkan masyarakat Mensemut untuk menghindari program-program adaptasi yang tidak tepat, ataupun membahayakan kehidupan warga (maladaptasi).
Pelibatan masyarakat juga bertujuan untuk merangsang pembuatan kebijakan adaptasi iklim yang berbasis kearifan-kearifan adat, sekaligus menghargai kebudayaan Orang Suku Laut.
Upaya lainnya adalah menindak segala macam pencurian ikan, pencurian pasir laut, dan sumber daya lainnya oleh kapal asing. Semuanya mengancam kehidupan warga Mensemut.
Iskandar, melalui perbincangannya dengan saya, menceritakan bahwa pencurian ikan di sekitar Pulau Mensemut kerap membuat tangkapannya merosot, sekitar 5 kilogram (kg) per malam. Ini terjadi karena banyak karang yang hancur lantaran aktivitas kapal ilegal. Padahal, dahulu dia pernah meraup lebih dari 100 kg ikan dan cumi dalam satu malam.
Terakhir, pemerintah Indonesia harus mengerahkan segala daya upaya untuk memangkas emisi yang membuat perubahan iklim semakin parah. Tanpa langkah agresif mengurangi pemakaian energi kotor serta memulihkan hutan dan laut, kebijakan adaptasi yang terbaik pun akan nampak seperti upaya tambal sulam.
Warga Mensemut adalah masyarakat yang berkontribusi sangat sedikit (atau mungkin tidak sama sekali) terhadap kerusakan alam. Jangan sampai kita membiarkan mereka menjadi korban terparah perubahan iklim.
Nikodemus Niko, Assistant Professor, Universitas Maritim Raja Ali Haji
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.