Celios Prediksi Ekonomi Indonesia Tumbuh 4,7–4,9 Persen pada 2025
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Kendari New Port, Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (22/11). Kemenperin menargetkan pertumbuhan ekspor dalam lima tahun ke depan mencapai 7,1 persen hingga 9,6 persen guna mendukung target pertumbuhan ekonomi
Foto: ANTARA/Andry DenisahJAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun depan mencapai 4,7–4,9 persen year-on-year (yoy). Angka tersebut lebih rendah dari asumsi dasar ekonomi makro APBN 2025 yang menyepakati target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen.
“Untuk outlook ekonomi dari segi makro, kami proyeksikan pertumbuhan ekonomi ini berkisar 4,7 sampai dengan 4,9 persen untuk 2025, itu salah satunya dengan asumsi bahwa 10 pungutan baru yang rencananya dimulai tahun depan jadi diimplementasikan,” ucap Bhima Yudhistira Adhinegara, di Jakarta, Kamis (21/11).
Seperti dikutip dari Antara, Bhima mengatakan pihaknya mencatat terdapat 10 pungutan baru yang rencananya akan diterapkan pemerintah tahun depan, termasuk PPN 12 persen, dana pensiun wajib, asuransi kendaraan tanggung jawab hukum pihak ketiga (third party liability), Tapera, dan cukai minuman berpemanis dalam kemasan.
- Baca Juga: PPDB Zonasi Dinilai Masih Relevan
- Baca Juga: Ketua DPR: Guru Garda Terdepan Cerdaskan Kehidupan Bangsa
Selain itu, tambah Bhima, terdapat pula kenaikan iuran BPJS Kesehatan, kenaikan UKT, berakhirnya keringanan PPh UMKM 0,5 persen, kenaikan harga BBM, serta penyesuaian tarif KRL berdasarkan NIK. Ia menilai pungutan-pungutan baru tersebut dapat mengurangi daya beli masyarakat.
Pungutan Baru
Bhima menuturkan selain sejumlah pungutan baru, perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang utama Indonesia, seperti Tiongkok, juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi domestik pada tahun depan.
Pergantian kepemimpinan di Amerika Serikat dari Joe Biden ke Donald Trump juga memberikan ketidakpastian terkait kebijakan the Fed yang nantinya berdampak pada tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) serta nilai tukar rupiah.
“Nah, ini juga terkait dengan cadangan devisa yang disumbang sektor-sektor berbasis komoditas, karena kalau tahun depan bonanza komoditasnya juga tidak terlalu bisa diandalkan, ini ada implikasi ke sana,” ujarnya.
Bhima pun meminta pemerintah untuk lebih gencar mendorong investasi masuk ke Indonesia melalui kebijakan yang konkret serta menempatkan modal yang didapatkan tersebut pada sektor yang tepat.
Ia mengingatkan pentingnya menjaga defisit anggaran dengan memprioritaskan implementasi program-program unggulan maupun proyek strategis nasional tertentu yang bisa memberikan dampak positif langsung kepada masyarakat tanpa membebani APBN.
“Karena kalau defisit anggarannya jadi melebar akibat program pemerintah itu, nanti implikasinya kepada pajak dan juga implikasi pada crowding out effect di sektor pembiayaan utama,” imbuhnya.
Sebelumnya, Deputi bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Amalia Adininggar Widyasanti, mengungkapkan strategi investasi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Pertama, tambah Amalia, insentif dan fasilitasi investasi sesuai dengan karakter sektor dan daerah untuk investasi bernilai tambah tinggi (industrialisasi dan hilirisasi) serta berkualitas.
“Jadi, insentif itu tidak one size fits all nantinya, tetapi akan difokuskan kepada sektor-sektor yang menciptakan nilai tambah yang tinggi,” katanya.
Prioritas diberikan terhadap investasi yang memberikan spillover pada perekonomian, menciptakan lapangan kerja, terhubung dengan proses industri dalam negeri dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), berorientasi ekspor dan terhubung rantai pasok global, melakukan transfer/adopsi teknologi, mengembangkan riset dan inovasi, serta menerapkan prinsip keberlanjutan.
Kedua, tambah Amalia, pengembangan investasi berdasarkan keunggulan daerah dengan backward dan forward linkage untuk menciptakan nilai tambah dan nilai rantai pasok domestik yang kuat.
Ketiga, kebijakan moneter dan sektor keuangan adaptif yang menyediakan beragam alternatif sumber pendanaan bagi investor, baik perbankan, pasar modal, maupun produk keuangan lainnya.
Keempat, peningkatan iklim berinvestasi dan berusaha, kepastian kebijakan dan hukum, sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan antar pusat-daerah dan antar sektor, ketersediaan infrastruktur dan konektivitas, ketersediaan bahan baku, Sumber Daya Manusia (SDM), energi hijau; serta persaingan usaha yang sehat.
“Artinya, (mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen) perlu melakukan langkah-langkah konkret seperti penyederhanaan perizinan, penciptaan iklim usaha yang kondusif, kemudian memastikan investasi-investasi besar ini dapat berjalan dengan baik di Indonesia,” ungkap dia.
Terakhir, penyediaan investasi pemerintah dan BUMN/BUMD berfokus pada sektor publik dan kebutuhan dasar penarik investasi.
Redaktur: Marcellus Widiarto
Penulis: Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Tiongkok Temukan Padi Abadi, Tanam Sekali Panen 8 Kali
- 2 Cegah Jatuh Korban, Jalur Evakuasi Segera Disiapkan untuk Warga Sekitar Gunung Dempo
- 3 BKD Banten Periksa Pejabat Kesbangpol Buntut Spanduk Kontroversial
- 4 Ratusan Pemantau Pemilu Asing Tertarik Lihat Langsung Persaingan Luluk-Khofifah-Risma
- 5 Dharma-Kun Berjanji Akan Bebaskan Pajak untuk Pengemudi Taksi dan Ojek Online
Berita Terkini
- Dinkes Kota Tangerang Ajak Masyarakat Aktifkan Jumantik Setiap Rumah
- Rektor ULM Perkenalkan KHDTK di Tahura Sultan Adam kepada Mahasiswa
- Sebanyak 167 produk UMKM bersaing di Dekranasda Kaltim Award 2024
- Tim U-18 Pertacami Targetkan Lima Emas Kejuaraan Dunia GAMMA 2024
- BMKG: 10 daerah di Sumsel dilanda hujan ekstrem pada hari pencoblosan