Biaya "Top Up" Bebani Masyarakat
Dengan model e-money seharusnya konsumen layak mendapat insentif, bukan disinsentif. Pengenaan biaya top up hanya bisa ditoleransi jika konsumen menggunakan bank berbeda dengan uang elektronik yang digunakan, selebihnya harus ditolak.
Selain itu, perbankan tidak pantas menggali pendapatan dari biaya tambahan top up uang elektronik. Seharusnya, mereka mengambil untung dari modal uang yang diputar dari sistem pinjam meminjam. Jadi, bukan menggali dari uang recehan dengan mengenakan biaya top up.
Pengenaan biaya pengisian ulang uang elektronik itu juga berbenturan dengan program pemerintah yang mendorong gerakan nontunai. Di satu sisi pemerintah menyuruh masyarakat memakai e-money atau uang elektronik dan mendorong gerakan non tunai, di sisi lain justru dikenakan pungutan. Ini disinsentif bagi nasabah, khususnya pengguna jasa transportasi umum dan tol.
Dikhawatirkan masyarakat akan kembali menggunakan uang tunai dalam bertransaksi. Hal ini tentu menjadi kemunduran. Bank sebagai penyedia kartu uang elektronik, sebetulnya sudah mendapat untung, tanpa harus memungut biaya isi ulang. Misalnya, masyarakat membeli kartu perdana 50.000 rupiah dapat saldo 30.000 rupiah, harga kartu 20.000.
Uang hasil penjualan kartu sebenarnya tercatat sebagai fee based income bank. Harusnya dengan keuntungan itu tidak perlu lagi memungut biaya top up. BI mesti tahu, penggunaan uang elektronik salah satu cara mengurangi penggunaan uang tunai. Gagasan e-money yang semula diluncurkan untuk memudahkan masyarakat dalam bertransaksi seperti di TransJakarta, Commuter Line, tol, supermarket, dan sebagainya, justru memberatkan.
Halaman Selanjutnya....
Komentar
()Muat lainnya