Kamis, 16 Jan 2025, 01:25 WIB

BI Dituding Turunkan Suku Bunga Acuan Sebagai Strategi Tingkatkan Penjualan SBRI

BI-Rate Turun, rupiah berpotensi makin melemah I Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di Jakarta, Rabu (15/1).

Foto: ANTARA/Dhemas Reviyanto

JAKARTA - Keputusan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan 0,25 persen menjadi 6,75 persen menuai banyak kritik dari pelaku dan pemerhati pasar keuangan. Hal itu karena dilakukan di tengah tren rupiah yang melemah karena tekanan dari eksternal khususnya penguatan dollar Amerika Serikat (AS) yang makin perkasa. 

Peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menengarai langkah otoritas moneter menurunkan suku bunga acuan sebagai strategi BI untuk meningkatkan penjualan Surat Berharga Republik Indonesia (SBRI) dengan bunga 7,2 persen. Padahal, langkah itu justru menimbulkan konflik kepentingan yang merugikan kepercayaan publik dan pasar internasional terhadap stabilitas keuangan Indonesia.

“Penurunan bunga acuan ini membuat BI bersaing langsung dengan bank untuk merebut dana publik. Akibatnya, masyarakat cenderung menarik tabungan mereka dari bank untuk dialihkan ke SBRI atau Surat Berharga Negara (SBN) milik pemerintah,” ungkap Salamuddin kepada Koran Jakarta, Rabu (15/1).

Kebijakan itu katanya juga semakin memperburuk kepercayaan pelaku pasar terhadap tata kelola fiskal dan moneter Indonesia. “Ini bukan hanya kebijakan biasa, tetapi sudah seperti langkah dagang yang menggunakan kebijakan publik sebagai alat untuk memenangkan persaingan di pasar uang,” tegasnya.

Dia juga menduga keputusan itu sebagai kongkalikong antara BI dan Kementerian Keuangan yang menyebabkan ketidakstabilan moneter dan melemahnya nilai tukar rupiah. “Kedua lembaga ini seakan-akan kehilangan independensi dan justru terkesan memperlemah rupiah demi kepentingan tertentu. Hal ini juga memanfaatkan kelemahan intelijen ekonomi dan keuangan pemerintahan baru,” kata Salamuddin.

Salamuddin mengkritik langkah BI yang kini kembali menerbitkan SBRI untuk membayar utang jatuh tempo sebesar 1.000 triliun rupiah. Ia menduga terdapat kongkalikong antara pejabat BI dan Kementerian Keuangan yang bertindak sebagai makelar utang untuk mendapatkan keuntungan dari bunga tinggi.

“Ada kesan bahwa BI dan pemerintah bersaing dalam menjual obligasi. Pemerintah menargetkan penjualan SBN sebesar 600 triliun rupiah, sementara BI menargetkan 1.000 triliun rupiah untuk membayar utang mereka. Ini semakin memperparah ketidakstabilan moneter dan menimbulkan spekulasi bahwa krisis keuangan di depan mata,” jelasnya.

Langkah itu jelasnya juga berpotensi menciptakan ancaman bagi pemerintahan baru. “BI dan Kementerian Keuangan seakan-akan menciptakan jebakan finansial untuk Pemerintahan Prabowo. Mereka memanfaatkan kelemahan intelijen ekonomi dan keuangan pemerintahan baru agar agenda neoliberal dan kepentingan oligarki tetap berjalan tanpa gangguan,” katanya.

Semenara itu, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko mengatakan penurunan suku bunga seharusnya dilakukan dengan mempertimbangkan stabilitas rupiah terlebih dahulu.

Saat ini, tekanan terhadap rupiah sangat besar akibat penguatan dollar AS, yang diiringi dengan ketidakpastian kebijakan ekonomi AS di bawah Pemerintahan Trump.

Aditya mengatakan bahwa penguatan dollar AS dapat semakin menekan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. “Ketika suku bunga domestik diturunkan, arus modal keluar menjadi lebih besar karena investor mencari imbal hasil yang lebih tinggi di pasar lain. Hal ini dapat memperburuk pelemahan rupiah,” jelasnya.

Selain itu, kebijakan tersebut berpotensi memengaruhi persepsi pasar terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Langkah BI dinilai sebagai upaya mendorong pertumbuhan jangka pendek tanpa memperhatikan risiko stabilitas jangka panjang. “Di tengah tekanan eksternal yang tinggi, stabilitas nilai tukar rupiah harus menjadi prioritas utama,” tegasnya.

Pada kesempatan lain, Pengamat Kebijakan Publik Forum Indonesia untuk Transparansi Anggara (Fitra) Badiul Hadi mengatakan Kebijakan BI itu akan membuat rupiah makin terdepresiasi karena daya tariknya semakin meredup terutama dari investor asing. “Kondisi ini bisa meningkatkan risiko capital outflow, apalagi kontraproduktif dengan rencana kebijakan Presiden Trump,” kata Badiul.

Kebijakan BI juga menyebabkan Indonesia kurang kompetitif dalam menarik modal asing dan imbasnya ke pengurangan devisa dan pertumbuhan ekonomi.

Topang Rupiah

Sebelumnya Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky berharap BI menahan suku bunga acuan untuk menopang rupiah yang masih berada di bawah tekanan sepanjang Desember 2024.

Meskipun The Fed menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin ke kisaran 4,25 persen hingga 4,5 persen pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) Desember 2024, namun arus modal keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, jelas Riefky masih berlanjut.

LPEM mencatat, sejak pertengahan Desember 2024 hingga pertengahan Januari 2025, arus modal keluar dari Indonesia mencapai 750 juta dollar AS atau 12,22 triliun rupiah dengan asumsi kurs 1 dollar AS setara dengan 16.292 rupiah.

Angka tersebut terdiri atas 120 juta dollar AS (1,96 triliun rupiah) keluar dari pasar obligasi dan 630 juta dollar AS atau 10,26 triliun rupiah keluar dari pasar saham. Selama periode itu, Riefky mengatakan bahwa rupiah melanjutkan depresiasi ke level 16.195 per dollar AS pada 9 Januari 2025 atau turun 2,11 persen dari level bulan sebelumnya 15.860 per dollar AS.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan: