Waspada, Bhima Celios: Prabowo Bakal Hadapi tantangan Fiskal yang Jauh Lebih Berat
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, Prabowo perlu bersiap menghadapi tantangan fiskal yang jauh lebih berat dibanding era Jokowi
Foto: istimewaJAKARTA-Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhisthira mengatakan, Prabowo perlu bersiap menghadapi tantangan fiskal yang jauh lebih berat dibanding era Jokowi.
"Ini bukan sekedar ada program makan bergizi gratis tapi persoalan utang jatuh tempo dan bunga-nya,"tegas alumni Universitas Bradford, Inggris tersebut Kamis (12/12). Pernyataan Bhima ini untuk menanggapi pidato Presiden Prabowo Subianto terkait APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) Tahun Anggaran 2025.
Selain itu papar Bhima, untuk refinancing atau mencari sumber pembiayaan baru juga tidak mudah. Begitu utang mau dibayar dengan utang baru maka situasi global membuat investor meningkat persepsi risikonya.
Sementara lanjut Bhima, di dalam negeri mau jual SBN (surat berharga negara) khawatir ganggu likuiditas perbankan. "Itu pekerjaan rumah terbesar fiskal Prabowo,"tandas Bhima
Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto menekankan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025 dirancang untuk menjaga stabilitas, terutama dalam menghadapi kondisi geopolitik yang penuh ketidakpastian.
"Karena itu APBN kita tahun 2025 dirancang untuk menjaga stabilitas, inklusivitas, keberlanjutan, dengan kehati-hatian. Kita punya cita-cita yang tinggi tapi kita harus terus melakukan pengendalian ekonomi secara prudent, hati-hati dan terencana dengan baik," kata Presiden Prabowo Subianto pada penyerahan DIPA dan TKD 2025, serta peluncuran katalog elektronik di Istana Negara Jakarta, Selasa (10/12)
Pengamat Ekonomi Salamudin Daeng mengakui beratnya kondisi APBN 2025. Sebagai gambaran tutur dia, APBN Indonesia tidak pernah naik secara real dibandingkan 10 tahun lalu jika diukur dalam mata uang dolar.
Pada masa pemerintahan SBY kurs rata rata 7000-8000 rupiah per dollar. Sekarang 15.500 rupiah per dolar. "Dahulu APBN terakhir SBY 1600 Trilun atau 220 miliar dollar. Sekarang APBN 2025 dirancang 3600 triliun rupiah atau 220 miliar dolar. Sama saja,"sebutnya
Hal yang membuat kondisi APBN tidak pernah naik juga papar dia karena dibuat tergantung pada utang, sehingga walaupun APBN tidak bertambah dalam dolar namun utang Indonesia bertambah dalam dolar. Karena pelemahan kurs. "Jadi APBN Indonesia akan selamanya lemah dalam perdagangan internasional atau hubungan apapun secara internasional,"tandas Daeng
Karena itu Daeng menegaskan, Pemerintahan prabowo harus mencari jalan ke luar atau jalan untuk keluar dari sistem APBN yang lemah, dan dilemahkan secara sistematis untuk membuat negara tergantung pada utang dari sektor swasta dan dari luar negeri.
"APBN yang seperti ini tidak akan meningkatkan kapasitas negara dalam berbagai bidang ditengah ancaman internasional yang meningkar seperti krisis, perang dan perubahan iklim serta transisi sistem moneter dan Digitalisasi,"ucapnya.
Redaktur: Muchamad Ismail
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Akhirnya Setelah Gelar Perkara, Polisi Penembak Siswa di Semarang Ditetapkan Sebagai Tersangka
- 2 Jakarta Luncurkan 200 Bus Listrik
- 3 Krakatau Management Building Mulai Terapkan Konsep Bangunan Hijau
- 4 Kemenperin Usulkan Insentif bagi Industri yang Link and Match dengan IKM
- 5 Indonesia Bersama 127 Negara Soroti Dampak dan Ancaman Krisis Iklim pada Laut di COP29
Berita Terkini
- Menpar sebut wisata gastronomi di Ubud tonjolkan cita rasa Nusantara
- Belajar air mobility pada Jepang atasi macet dan kendala logistik
- Angkasa Pura antisipasi penyebaran monkeypox jelang libur Nataru
- DJKI: Pemusnahan barang palsu bentuk perlindungan kekayaan intelektual
- Tim SAR Jember cari nelayan hilang setelah perahunya diterjang ombak