Jum'at, 10 Jan 2025, 10:11 WIB

Bergabung ke BRICS Kurang Hati Hati. Bisa Jadi Bumerang Baru

Pengamat Komunikasi Politik Universitas Binus Malang, Frederik M. Gasa mengatakan, ada potensi posisi kita di politik internasional akan melemah karena akan ada banyak negara, terutama sekutu AS yang kemudian 'berpaling' dari Indonesia

Foto: istimewa

JAKARTA-Pengamat Komunikasi Politik Universitas Bina Nusantara (Binus) Malang, Frederik M. Gasa mengatakan, langkah yang diambil pemerintah Indonesia dengan bergabung dengan blok ekonomi BRICS bisa saja menjadi bumerang baru, terutama dalam konteks hubungan internasional. 

Menurut Frederik, ini langkah yang kurang hati-hati karena dua hal, pertama, apakah dengan bergabung dengan BRICS, Indonesia tidak lagi berpegang pada prinsip gerakan non-block? "Sebab kita tahu dalam lebih dari dekade belakangan, ada tensi yang sulit diturunkan dalam hubungan Amerika Serikat - Russia - China,"ucap Frederik menanggapi bergabungnya RI ke Blok Ekonomi BRICS yang dimotori China, Russia dan sejumlah negara lainnya.

Kedua papar dia, kenapa disebut kurang hati hati karena posisi kita dalam arena politik internasional justru akan melemah karena akan ada banyak negara, terutama sekutu AS yang kemudian 'berpaling' dari Indonesia.

Bagi saya ujarnya, komunikasi yang baik yang sudah terjalin selama ini dengan banyak negara, termasuk negara-negara adidaya perlu untuk terus dipertahankan. Positioning kita di kancah politik global sudah cukup baik jika kita coba untuk melihat dalam 10 tahun terakhir. Indonesia cukup kuat dan gencar dalam membangun dialog dengan berbagai negara guna mempererat hubungan diplomatic dan kerja sama lainnya. 

"Benar bahwa aliansi dapat memperkuat suatu negara tapi apakah itu perlu kita lakukan sekarang? Saya rasa dengan tetap berpegang pada prinsip non-block, Indonesia masih memiliki bargaining position yang kuat di hadapan negara-negara kuat yang ada,"tegas Frederik lagi.

 Bagi saya, ujarnya yang terpenting saat ini adalah perkuat politik domestik terlebih dahulu dengan memperbaiki berbagai persoalan yang ada, penguatan pilar-pilar penting negara agar ke luarnya, kita cukup yakin dengan apa yang kita miliki sehingga tidak harus mengambil langkah bergabung dengan kelompok tertentu yang justru bisa memicu konflik di waktu yang akan datang.

Senada dengan Frederik, Profesor Ekonomi Bisnis dari Univeritas Atma Jaya Jakarta, Rosdiana Sijabat sebelumnya mengatakan, Pemerintah perlu memahami dan mengantisipasi karakter dari pemerintah Presiden AS terpilih Donald Trump yang selalu menjaga jarak politik dan ekonomi kepada negara negara yang dianggap bukan sekutu politiknya seperti Russia dan Tiongkok, sehingga bisa saja keputusan bergabung ke BRICS akan berimbas ke Indonesia.

Dalam pandangan AS, Indonesia salah satu negara yang memiliki hubungan dagang atau ekonomi yang cukup besar selama ini. "Ketika memutuskan menjadi anggota BRICS, maka itu dianggap Indonesia lebih memilih untuk me-manfaatkan peluang ekonomi politik dari keberadaan BRICS," papar Rosiana.

Dia menegaskan, hal itu yang dikhawatirkan oleh investor bahwa AS akan membuat jarak- jarak ekonomi yang tidak menguntungkan bagi Indonesia, misalkan kita tidak lagi mungkin mendapatkan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yaitu pembebasan tarif khusus yang diberikan AS untuk negara- negara tertentu termasuk Indonesia.

Menurutnya, ini akan berdampak ke hal hal lain seperti yang dilakukan AS terhadap Meksiko, dengan menaikkan tarif sangat tinggi untuk produk-produk otomotif yang diperdagangkan di AS. "Kalau dia berasal dari pabrikan yang berada di Meksiko akan terkena bea masuk yang cukup besar 200 persen, padahal sekitar 20 persen produk otomotif yang diperdagangkan di AS adalah hasil pabrikan dari Meksiko.

Redaktur: Muchamad Ismail

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan: