Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Produk Lokal I Perkembangan Impor secara Bulanan Tunjukkan Pola Tidak Biasa

Belum Ada Kemauan Kuat Menekan Impor

Foto : Sumber: BPS – Litbang KJ/and - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

» Impor komoditas yang besar adalah bawang putih, AC, jeruk mandarin, dan apel segar.

» Target substitusi impor 35 persen pada 2022 tak akan terealisasi selama para mafia impor bergentayangan.

JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS), pada Jumat (15/1), mencatat nilai impor Indonesia pada Desember 2020 sebesar 14,44 miliar dollar AS atau meningkat 14 persen dibanding impor November 2020.

Kepala BPS, Suhariyanto, dalam keterangan pers yang disampaikan secara daring di Jakarta, Jumat (15/1), mengatakan secara bulanan atau month to month (mtm), kenaikan impor 14 persen dipacu oleh kenaikan impor migas dan nonmigas.

Dia menjelaskan impor migas pada Desember 2020 tercatat senilai 1,48 miliar dollar AS atau naik 36,57 persen dibandingkan November 2020, sedangkan impor nonmigas meningkat sebesar 11,89 persen dengan nilai 12,96 miliar dollar AS.

Secara tahunan, papar Suhariyanto, impor hanya tercatat turun tipis 0,47 persen karena impor migas turun 30,54 persen, sementara impor nonmigas tumbuh 4,71 persen.

"Perkembangan impor secara bulanan juga menunjukkan pattern (pola) yang tidak biasa. Biasanya pada bulan Desember impor itu agak turun, ekspor juga agak turun karena banyak hari libur, tapi itu tidak terjadi di Desember 2020," kata Suhariyanto.

Impor pada Desember terjadi baik untuk barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal. Impor barang konsumsi meningkat 31,89 persen mtm dan 3,87 persen yoy.

Sedangkan impor bahan baku tumbuh 14,15 persen mtm walaupun turun 2,02 persen secara yoy. Barang modal sendiri tumbuh 3,89 persen mtm dan 3,17 persen secara yoy.

Beberapa komoditas yang mengalami peningkatan impor yang besar adalah bawang putih, mesin pendingin ruangan (AC), dan buah-buahan seperti jeruk mandarin dan apel segar yang diimpor dari Tiongkok.

"Komoditas lain adalah daging beku yang kita impor dari India. Itu yang menyebabkan barang konsumsi kita mengalami peningkatan 31,89 persen," katanya.

Menanggapi melonjaknya kembali impor di masa pandemi Covid-19, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan kebergantungan impor bisa hilang kalau pemerintah punya good will (kemauan) kuat. Namun, faktanya, kendatipun ada program substitusi impor dan upaya meningkatkan penggunaan produk lokal, impor tetap saja tinggi.

"Tingginya impor nonmigas tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri dalam negeri, tetapi impor barang yang sebenarnya bisa kita produksi sendiri. Memang perlu kemauan kuat dan komitmen tinggi mengurangi impor," tegas Esther.

Dia sangat menyayangkan masih besarnya nilai impor komoditas pertanian, seperti sayur, buah, beras, dan komoditas lainnya termasuk garam.

Menurut dia, target substitusi impor sebesar 35 persen tahun 2022 tak akan terealisasi selama para mafia impor bergentayangan.

"Mafia impor memperoleh keuntungan rupiah per kilogram dari komoditas pertanian yang diimpor, misalnya gula, beras, dan sebagainya," katanya.

Untuk menekan impor, tambah Esther, pemerintah tidak cukup mewacanakan untuk sekadar bangga menggunakan atau mengonsumsi produk lokal, tetapi lebih dari itu, butuh kemauan yang kuat dengan membangun sistem yang lebih berpihak pada peningkatan produk dalam negeri.

Padat Karya

Sementara itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Brawijaya, Malang, Munawar Ismail, mengatakan, dalam kondisi krisis seperti sekarang, pemerintah harus fokus menyelamatkan pertumbuhan dan lapangan kerja dengan mendorong sektor yang padat karya seperti pertanian, yang selama ini tertekan oleh impor.

"Dalam kondisi seperti ini harus menghemat devisa, terutama sektor pertanian. Jangan melakukan impor selama bisa dihasilkan dari dalam. Maka yang harus dilakukan adalah mendorong produk-produk komplementer atau subtistusi, yang bisa dibuat di Indonesia," kata Munawar.

Pemerintah pun harus memfasilitasi kemudahan bisnis untuk menghasilkan produk subtitusi, agar jangan sampai terjadi lagi, saat panen malah impor. "Dengan mendukung subtitusi, keuntungan yang dihasilkan akan lebih terdistribusi merata," pungkasnya.

n ers/SB/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top