Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Keuangan I Mereka dalam Tekanan Utang Tinggi sehingga Gagal Bayar

Beban Utang dan Belanja Iklim Picu Negara Berkembang ke Jurang Kebangkrutan

Foto : ISTIMEWA

International Monetary Fund (IMF)

A   A   A   Pengaturan Font

LONDON - Universitas Boston pada malam pertemuan musim semi (spring meeting) Dana Moneter Internasional IMF dan Bank Dunia baru-baru ini merilis sebuah laporan. Laporan itu menyebutkan bahwa negara-negara berkembang akan membayar utang luar negeri sebesar 400 miliar dollar AS pada tahun 2024.

Hal itu menyebabkan 40 negara lebih tidak dapat membelanjakan uang yang mereka butuhkan untuk adaptasi iklim dan pembangunan berkelanjutan tanpa risiko gagal bayar dalam lima tahun ke depan.

The Straits Times, dalam laporan bertajuk "Debt Relief for Green and Inclusive Recovery Project (DRGR)" menemukan bahwa 47 negara berkembang akan mencapai ambang batas kebangkrutan atas utang luar negeri dalam lima tahun ke depan jika mereka menginvestasikan jumlah yang diperlukan untuk mencapai Agenda 2030 dan kesepakatan Paris.

"Mereka berada dalam tekanan utang yang tinggi sehingga mengalami gagal bayar (default), mengingat kondisi utang saat ini, jika mereka mencoba memobilisasi pembiayaan semacam itu," kata Direktur Pusat Kebijakan Pembangunan Global, Universitas Boston, Kevin Gallagher.

Sebanyak 19 negara berkembang lainnya, jika tanpa bantuan akan kekurangan likuiditas untuk memenuhi target belanjanya, meskipun mereka belum mendekati ambang batas default.

Laporan tersebut menyerukan perombakan arsitektur keuangan global, bersamaan dengan pengampunan utang bagi negara-negara yang paling berisiko dan peningkatan pembiayaan terjangkau dan peningkatan kredit.

"Kita perlu memobilisasi lebih banyak modal dan menurunkan biaya modal bagi negara-negara jika kita ingin mencapai hal ini," kata Gallagher.

Proyek DRGR merupakan kolaborasi antara Pusat Kebijakan Pembangunan Global Universitas Boston, Heinrich- Boll-Stiftung, Pusat Keuangan Berkelanjutan, SOAS, dan Universitas London.

Laporan itu juga menekan IMF untuk mengubah cara mereka menghitung keberlanjutan utang, penilaian yang terdengar tidak masuk akal dan sangat penting untuk menentukan berapa banyak keringanan utang yang diterima negara-negara yang mengalami gagal bayar.

aJika IMF menganggap suatu negara mampu menangani jumlah utang yang terlalu tinggi, hal itu dapat membebani negara tersebut dengan pembayaran yang tidak terjangkau, yang mungkin akan mendorong negara tersebut kembali ke kondisi gagal bayar (default).

"Jika komunitas internasional tidak bertindak dengan cepat dan sepakat memberikan keringanan utang secara menyeluruh, di samping likuiditas baru, hibah, dan pendanaan pembangunan yang lunak maka dampak yang ditimbulkan menjadi sangat besar," kata laporan tersebut.

Terus Terperangkap Utang

Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomi (FBE) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan beban pembayaran utang luar negeri yang besar akan sangat berdampak pada berkurangnya kapasitas negara-negara berkembang untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan dengan risiko jangka panjang negara-negara tersebut akan terus terjebak dalam perangkap utang luar negeri.

"Hal ini juga menyebabkan agenda-agenda internasional seperti SDGs dan adaptasi iklim menjadi makin sulit untuk dicapai," kata Aloysius.

Sebab itu, kreditor harus memberi kebijakan keringanan atau penghapusan utang agar negara berkembang bisa bernapas. Namun demikian, kebijakan seperti itu tetap sulit untuk mencegah berulangnya jebakan utang di masa depan. Hal itu karena negara-negara berkembang tetap membutuhkan pasokan modal dari luar dan salah satu terpenting adalah utang luar negeri.

"Dalam jangka panjang, yang perlu ditekankan bukan hanya kebutuhan dan kemampuan membayar utang, tetapi juga kemampuan negara berkembang untuk mengelola kompleksitas keberlanjutan utang," jelas Aloysius.

Sementara itu, pakar ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan IMF perlu mempertimbangkan perkembangan itu untuk memberikan kelonggaran pembayaran bagi para debitur. Negara-negara maju juga harus berani memberikan dukungan dana untuk adapasi iklim.

"Negara-negara miskin memang tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena tanpa adaptasi iklim dan kebutuhan transisi ke energi bersih, mereka sudah kesulitan dalam membayar kewajiban utangnya. Jadi, harus ada semacam intervensi agar mereka tidak sampai bangkrut," kata Wibisono.

Secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, mengatakan laporan ini justru memperkuat kekhawatiran terbesar dari jebakan utang dalam skema pembiayaan untuk mitigasi perubahan iklim maupun transisi energi.

"IMF dan Bank Dunia seolah memanfaatkan ketidakmampuan negara berkembang dan miskin memenuhi sumber pembiayaan di dalam negeri dengan kedok utang baru," ungkap Bhima.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top