Banyak Negara Diperkirakan Mengalami Resesi
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati
Foto: ISTIMEWAJAKARTA - Kondisi ekonomi global pada 2023 ini diperkirakan akan gelap gulita dengan pertumbuhan dunia hanya 2,1 persen atau turun drastis dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 6,3 persen. Hal itu yang menjadi perkiraan banyak negara akan mengalami resesi ekonomi.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam acara penyerahan Insentif Fiskal Kategori Kinerja Pengendalian Inflasi di Daerah Periode I-2023 yang dipantau Antara secara virtual, di Jakarta, Senin (31/7), mengatakan situasi sekarang sudah tengah tahun kondisinya agak lebih baik dari yang diperkirakan semula.
Kendati demikian, pertumbuhan volume perdagangan dunia 2023 diperkirakan menjadi paling rendah dengan angka 2,0 persen apabila dibandingkan angka dua tahun terakhir, yakni 5,2 persen pada 2022 dan 10,7 persen pada 2021.
"Kalau dunia tidak saling berdagang, pasti ada bagian dunia yang tadinya membutuhkan barang atau jasa tidak mendapatkannya dan kemudian akan mendorong harga-harga menjadi naik. Inilah kenapa kemudian disrupsi yang terjadi baik dari sisi supply maupun dari sisi perdagangan serta dari sisi distribusi itu akan sangat menentukan inflasi," jelasnya.
Pada 2022 lalu, seluruh dunia mengalami kenaikan inflasi yang sangat tinggi. Dunia disebut mengalami inflasi 8,7 persen dari sebelumnya yang mendekati 0 persen. Bahkan, beberapa negara maju juga mengalami deflasi yang kemudian melonjak menjadi 7,3 persen.
Jika permintaan mengalami penurunan, kegiatan produksi turut mengalami penurunan. Berdasarkan indikator Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur per Juni 2023 tercatat 61,9 persen. Mayoritas negara mengalami PMI manufaktur yang kontraktif, seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, Jerman, Prancis, Inggris, Korea Selatan, Malaysia, dan Vietnam.
Kondisi tersebut menggambarkan dampak pelemahan ekonomi global salah satunya adalah inflasi yang menggerus daya beli itu sangat besar.
"Hanya 14,3 persen negara-negara yang mengalami ekspansi dan akselerasi. Itu termasuk Indonesia, jadi Indonesia masuk bersama Turki dan Meksiko," katanya.
Waspadai Permintaan
Pada kesempatan terpisah, peneliti ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, mengatakan dampak pelemahan ekonomi global tidak terlalu berdampak terhadap ekonomi Indonesia karena masih ditopang ekonomi domestik.
Namun demikian, pemerintah perlu mewaspadai dampak pelemahan permintaan global terhadap produk orientasi ekspor seperti tekstil. "Kurangnya permintaan bisa membuat angka pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat," katanya.
Pemerintah, kata Nailul, perlu menyiapkan sejumlah langkah penting untuk mengantisipasi dampak negatif perkembangan ekonomi global tersebut.
"Perlu melakukan penguatan ekonomi domestik dengan menjaga daya beli masyarakat dengan tingkat inflasi yang dijaga, jangan sampai terlampau tinggi," tegasnya.
Selain itu, perlu mencari pangsa pasar baru di luar negara tradisional. Pangsa pasar Timur Tengah dan Afrika berpotensi menjadi tujuan ekspor produk tekstil dan produk tekstil (TPT).
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Keluarga Sido Muncul Kembangkan Lahan 51 Hektare di Semarang Timur
- 3 Kejati NTB Tangkap Mantan Pejabat Bank Syariah di Semarang
- 4 Pemerintah Diminta Optimalkan Koperasi untuk Layani Pembiayaan Usaha ke Masyarkat
- 5 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
Berita Terkini
- Vietnam Amankan Puncak Klasemen Grup B Usai Gasak Myanmar dengan Skor Telak 5-0
- Banyak Sekali, Korban Luka Insiden Mobil Tabrak Kerumunan di Jerman Lampaui 200 Orang
- Kekalahan yang Menyesakkan Dada, Indonesia Gagal Melaju Ke Semifinal ASEAN Cup 2024
- Status Pailit Sritex, Berikut Penjelasan BNI
- Arab Saudi: Habis Minyak Bumi, Terbitlah Lithium