Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Bahasa Politik Maskulinitas

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Saat pecah Peristiwa 1965, ganyang bukan lagi sebatas bahasa agitasi dan propaganda dalam aksi demonstrasi, pidato politik, dan tertulis dalam lembaran poster atau mural tembok. Inilah masa ketika bahasa politik mengejawantah menjadi parang, linggis, rupa-rupa alat penyiksa hingga kamp kosentrasi di Pulau Buru.

Ganyang benar-benar berubah menjadi laku dan PKI-lah yang diganyang dalam arti sebenarnya, yaitu, dipenjara, dibuang, dibunuh. Korban pengganyangan tersebar di seluruh negeri dan menjadi noktah hitam dalam sejarah bangsa. Bahasa pun berubah menjadi kekerasan yang sanggup menghancurkan pihak-pihak tertentu, terutama yang dianggap liyan. Adapun kekerasan menurut Jonathan Rutherford, yang tertuang lewat esainya dalam buku Male Order Unwrapping Masculinity, adalah "respons umum ketika identitas maskulin berada dalam ancaman".

Orde Baru kemudian muncul dengan bahasa politik lebih halus. Bahasa eufemisme sengaja dipakai demi membungkam lawan-lawan politik. Sebagai pengganti ganyang digunakanlah kata diamankan. Kata babat diubah ditertibkan. Adapun oposisi disebut ekstremis (baik kanan maupun kiri) dan organisasi tanpa bentuk (OTB). Sementara itu, pembunuhan misterius (petrus) disebut sebagai terapi goncangan. Penghalusan bahasa semacam ini merupakan topeng untuk menutupi watak otoriter Orde Baru. Tindakan yang kejam dan tidak manusiawi ditutupi dengan kata-kata yang telah dimanipulasi.

Kata paling kasar pada Orde Baru adalah gebuk yang diucapkan Soeharto di dalam pesawat kepresidenan dalam perjalanan pulang dari Beograd, Yugoslavia, pertengahan tahun 1989. "Biar pun jenderal atau menteri, kalau bertindak inkonstitusional akan saya gebuk", ucapnya. Gebuk berasal dari bahasa Jawa berarti pukul. Cara memukulnya tidak dengan tangan kosong, melainkan memakai alat seperti kayu atau besi. Untuk pukulan yang dilakukan dengan tangan kosong, bahasa Jawa menyediakan kata jotos, tempiling, atau kampleng.

Memasuki era reformasi, bahasa politik ternyata tidak berubah, perkawinan ala Orde Lama dan Orde Baru. Alhasil, kata libas, ganyang, dan babat kembali terdengar. Presiden Joko Widodo bahkan beberapa kali menggunakan kata gebuk. Kenyataan tersebut menunjukkan, jejak maskulinitas dalam bahasa politik masih terlihat jelas. Dengan terang benderang, tergambar pula tujuan politik, sebagaimana doktrin maskulinitas, untuk menundukkan dan menguasai.
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top