Aturan Perdagangan Karbon Masih Parsial
PACU DEKARBONISASI I Warga berjalan dengan latar belakang Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu. Percepatan transisi energi melalui pengembangan energi terbarukan dalam rangka dekarbonisasi diyakini dapat mendukung akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional.
Foto: ANTARA/Hasrul SaidJAKARTA - Regulasi terkait perdagangan karbon dinilai masih bersifat parsial sehingga perlu diperkuat agar lebih efektif dalam mengurangi emisi karbon serta melestarikan lingkungan. Perdagangan karbon menjadi salah satu komponen penting dalam mitigasi perubahan iklim di Indonesia.
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Darori Wonodipuro, mengungkapkan pengaturan tentang perdagangan karbon sudah ada, namun sifatnya masih parsial. "Kami di DPR RI berkomitmen mendorong lahirnya undang-undang yang lebih menyeluruh dan komprehensif," ungkap Darori di Jakarta, Senin (14/10). Dia menjelaskan DPR RI tengah menyiapkan undang-undang baru untuk perkuat sistem perdagangan karbon di Indonesia. Undang-undang ini nantinya diharapkan tidak hanya mendukung komitmen internasional Indonesia terkait mitigasi perubahan iklim, tetapi juga menciptakan sistem perdagangan karbon yang lebih efektif dan berkelanjutan.
"Melalui regulasi terpadu, DPR RI berharap perdagangan karbon dapat menjadi salah satu alat penting dalam menjaga kelestarian hutan dan mencegah bencana alam akibat kerusakan lingkungan," ujar Politisi Dapil Jawa Tengah VII ini. Darori menambahkan, selain perdagangan karbon, yang tidak kalah pentingnya untuk mendapat perhatian DPR RI adalah Isu lingkungan lainnya, seperti konservasi keanekaragaman hayati dan pengelolaan sampah di berbagai daerah.
Menurutnya, penanganan isu lingkungan harus dilakukan secara menyeluruh untuk menjaga keseimbangan ekosistem. "Perdagangan karbon sendiri merupakan mekanisme di mana perusahaan atau negara yang berhasil menurunkan emisi karbon bisa menjual 'kredit karbon' kepada entitas lain yang membutuhkan. Dengan sistem ini diharapkan tercipta insentif bagi perusahaan untuk lebih aktif dalam mengurangi emisi," paparnya.
Seperti diketahui, bursa karbon pertama di Indonesia, IDXCarbon, diluncurkan pada 26 September 2023. Dalam setahun ini, partisipasi masyarakat terhadap bursa karbon sangat besar. Menurut catatan Bursa Efek Indonesia (BEI), jumlah pengguna jasa bursa karbon meningkat secara signifikan. BEI telah memfasilitasi perdagangan 613.738 ton CO2e, dengan lebih dari 420.150 ton yang telah dimanfaatkan.
Perkuat Manufaktur
Pada kesempatan lain, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya, YB Suhartoko, mengapresiasi perdagangan ekonomi karbon. Namun, dia mengatakan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen seperti yang direncanakan pemerintahan baru tidak cukup dengan mengandalkan ekonomi karbon.
Dirinya berharap pemerintahan baru benar-benar serius mendorong manukfakturisasi di dalam negeri. Hal itu lebih realisis untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen. Menurut Suhartoko, ekonomi karbon begitu juga rencana reformasi BUMN memang memiliki daya ungkit, namun untuk mempercepat pertumbuhan tidak bisa dilimpahkan ke dua variabel tersebut. Dua hal itu tidak bisa menjadi variabel utama pendorong pertumbuhan.
Redaktur: Muchamad Ismail
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Regulasi Baru, Australia Wajibkan Perusahaan Teknologi Bayar Media Atas Konten Berita
- 2 Ini yang Dilakukan Pemkot Jaksel untuk Jaga Stabilitas Harga Bahan Pokok Jelang Natal
- 3 RI Harus Antisipasi Tren Penguatan Dollar dan Perubahan Kebijakan Perdagangan AS
- 4 Kemendagri Minta Pemkab Bangka dan Pemkot Pangkalpinang Siapkan Anggaran Pilkada Ulang Lewat APBD
- 5 Terapkan SDGs, Perusahaan Ini Konsisten Wujudkan Sustainability Action Plan