Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis

Atjeh Oorlog, Perang Paling Lama dan Sulit

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Perang Aceh (Atjeh Oorlog) menjadi perang terlama dan rumit bagi Belanda. Perlawanan yang tidak pernah surut membuat perang ini berlangsung selama 31 tahun.

Bagi Belanda, Perang Aceh menjadi bagian tersulit yang menguras keuangan juga nyawa. Di pihak pribumi sebanyak 100.000 orang kehilangan nyawa mereka dalam pertempuran yang sesekali berkobar.
Dalam sebuah buku dengan judul Atjeh, Anton Stolwijk, yang tinggal di Aceh selama bertahun-tahun menulis sebuah buku sejarah yang menarik tentang tema ini.
Dia datang ke Aceh sekitar 10 tahun lalu untuk mendatangi temannya seorang antropolog yang kini menjadi istrinya untuk meneliti dampak tsunami Aceh. Buku yang diterbitkan pada 2016 ini berisi kisah pertempuran paling berdarah dalam sejarah kolonial Belanda.
Enne Koops pada laman Historiek membedah buku Stolwijk. Bukunya membahas aspek-aspek utama dari perang Aceh dan dalam bukunya yang berisi jurnalisme beberapa kali melakukan perjalanan ke masa kini (informasi berdasarkan kunjungan dan percakapan penulis di Aceh).
Konflik terbuka pertama dimulai pada 26 Maret 1873 yang dikobarkan oleh Belanda. Perang berakhir pada Januari 1904, ditandai dengan menyerahkan Sultan Aceh Muhammad Daud Syah. Jika dihitung lama perang ini mencapai 31 tahun.
Namun perlawanan perlawanan rakyat yang dipimpin oleh raja-raja kecil atau Uleebalang dan para ulama secara gerilya masih berlangsung hingga 1915. Bahkan ketika menjelang kedatangan Jepang pada 1942, perlawanan secara sporadis rakyat Aceh masih terjadi.
Perang Aceh dilatarbelakangi oleh Perjanjian Siak 1858 yang mengurangi kekuasaan Kesultanan Aceh. Isinya Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda. Daerah ini pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.
Dengan terjadinya pelanggaran Belanda terhadap perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London yang ditandatangani pada 1824. Isi perjanjian London pertama itu menyatakan bahwa Belanda dan Britania Raya atau Inggris, membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura.
Belanda dan Inggris mengakui kedaulatan Aceh. Namun belakangan Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Inggris.
Namun dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps pada 17 November 1869, mengubah peta persaingan. Lalu lintas selat Malaka yang ramai menjadi sangat berarti bagi lalu lintas perdagangan. Inggris kemudian kembali membuat perjanjian London yang ditandatangani pada 1871. Isinya Inggris memberi Belanda keleluasaan untuk mengambil tindakan di Aceh.
Imbalannya Belanda harus menjaga keamanan lalu lintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Inggris. Sejak saat ini, perlawanan Aceh kepada Belanda terus dilakukan.
Menurut Stolwijk, Perang Aceh dilatarbelakangi juga oleh kontak yang tidak ramah di masa lalu. Kontak antara (Republik Persatuan) Belanda dengan Aceh dimulai pada 1599 oleh armada penjelajah Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman.
Dalam kontak itu, de Houtman dibunuh oleh pejuang Aceh dua bulan setelah tiba tepatnya pada 1 September 1599 dalam umur 34. Sementara saudaranya, Frederick de Houtman, ditangkap dan dipenjarakan selama beberapa tahun.
Pangeran Maurits dari Oranye menebusnya. Tak lama setelah kembali ke rumah, Frederick menulis kamus yang menarik tentang bahasa Melayu dengan judul Spraeck Ende Wordboeck. Selain bahasa, ia menulis banyak pengetahuan tentang astronomi.

Pengiriman Delegasi
Rekaman dialog tentang perdagangan menunjukkan betapa kayanya Aceh. Pelaporan positif ini mengakibatkan satu demi satu kapal Eropa berangkat ke Aceh pada tahun-tahun berikutnya. Pangeran Maurits mengirim permintaan pertemanan kepada Aceh sejak awal, yang menyebabkan kedatangan delegasi Aceh ke Zeeland pada 1602.
Mereka membawa hadiah berharga, yang didokumentasikan dengan cermat, permata, cangkir dan piring emas, pot perak, belati bertahtakan emas dan perak, dan yang terbaik, dua burung beo dengan rantai perak di kaki mereka. Tuan rumah Belanda menyuguhi pesta, acara makan malam ke berbagai kota dan resepsi resmi dengan kehadiran menteri luar negeri.
Abad ketujuh belas didominasi oleh kontak perdagangan yang baik antara Aceh dan Belanda. Pada 1616, Belanda menunjuk seorang duta besar khusus untuk Aceh, yang mencoba untuk menyelesaikan kontrak lada dan mengawasi situasi politik yang rumit di Aceh di mana konflik terus-menerus berkobar di sekitar (posisi) sultan.
Ledakan dalam industri dan perdagangan tembakau pada pertengahan abad kesembilan belas menyebabkan kemerosotan saling pengertian. Akibat ledakan industri tembakau, banyak modal masuk di Kota Medan tumbuh pesat. Hal itu juga membuat Belanda berusaha untuk menundukkan kekuasaan Sultan Aceh.
Rakyat diharuskan membayar pajak kepada Belanda. Tentara dan Angkatan Laut Belanda juga muncul lebih sering dari sebelumnya. Melihat hal ini, penasihat Istana Yaman untuk sultan Aceh, Habib Abdoer Rahman Alzahier (1833-1896) memutuskan untuk mengunjungi Konstantinopel atau (?stanbul saat ini) pada 1868.
Tujuannya ke kota itu untuk meminta menjadikan Aceh sebagai protektorat Kesultanan Utsmaniyah. Meski kunjungan tidak banyak membuahkan hasil, tetapi membuat pemerintah Belanda khawatir, karena kekuasaan kesultanan itu hampir seluruh Mediterania atau Laut Tengah. Selain itu Aceh menjaga hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, dan Kerajaan Italia
Ketika setahun kemudian, pada 1869, Terusan Suez juga dibuka, Aceh tiba-tiba menjadi sorotan. Terusan Suez menggeser jalur pendekatan ke Hindia melalui Aceh. Banyak perompak aktif di pulau itu dan itu membutuhkan pendekatan segera. Sebagian dari alasan ini, Belanda berpendapat, kesultanan Aceh harus menjadi bagian dari kerajaan kolonial Belanda. hay/I-1

Bermula dari Perjanjian London

Perang Aceh (Atjeh Oorlog) bermula dari Perjanjian London yang ditandatangani pada 1871. Isinya Inggris memberi keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Imbalannya Belanda harus menjaga keamanan lalu lintas di Selat Malaka, dan mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak, dan menyerahkan Guyana Barat.
Sementara keamanan Selat Malaka sebagai lalu lintas perdagangan penting, mengalami gangguan karena hadirnya para perompak dari Aceh. Akibatnya pada 26 Maret 1873, pemerintah Belanda memutuskan untuk menyerang Aceh dengan kekuatan beberapa batalion tentara yang berasal dari Batavia.
"Pada 31 Maret 1873, pertempuran terbesar dan paling berdarah dalam sejarah kolonial Belanda dimulai dengan pemboman besar-besaran di pantai Aceh, dan beberapa hari kemudian pasukan pertama mendarat," tulis Anton Stolwijk dalam buku Atjeh.
Operasi ini sama sekali tidak berhasil. Aceh tidak segera menyerah dan tetap melakukan perlawanan dengan sengit dan dalam beberapa pekan. Beberapa tentara Belanda akhirnya kembali ditarik ke Batavia. Dalam pertempuran hebat yang berlangsung hingga 1874 Belanda mengerahkan 13.000 melawan banyak tentara Aceh.
Pada 1874, Jenderal Jan van Swieten bertekad untuk menghapus kesultanan dan menempatkan Aceh di bawah kekuasaan langsung Belanda. Hal ini semakin meningkatnya perlawanan di ujung Pulau Sumatera itu.
Perlawanan ini membuat beberapa tentara Belanda membelot karena mengalami demoralisasi. Puncaknya, sekitar 1890, ada hampir seratus tentara keturunan Eropa dan beberapa laki-laki pribumi, membelot.
Selama perang yang sulit itu, Belanda tidak luput juga melakukan kejahatan perang. Salah satunya yang bertanggung jawab adalah Gubernur Joannes Benedictus van Heutsz (1851-1924). Dengan sepengetahuannya, seorang pelapor (whistleblower) bernama Fanoy bersaksi. "Dalam beberapa kasus, perempuan dan anak-anak dibunuh," tulis Fanoy dalam surat pengunduran dirinya yang dilayangkan ke Kementerian Koloni.
Stolwijk menulis bahwa tahanan disiksa dan dieksekusi tanpa pengadilan. "Semua itu dengan sepengetahuan Van Heutsz. Tidak sesuai dengan hati nurani saya untuk berpartisipasi dalam operasi semacam itu," imbuh dia.
Surat Fanoy itu akhirnya ditutup-tutupi dan Fanoy mendapat pekerjaan kantor yang tidak penting di Batavia.
Ketika Jepang berhasil mengalahkan Belanda pada 1942, orang Aceh menganggap sebagai akhir dari perang Aceh. Namun ketika menjadi bagian dari Republik Indonesia, Aceh memberontak melawan rezim ini terjadi antara 1953-1957.
Pemimpin Indonesia, Soekarno, menumpas pemberontakan ini. Stolwijk pada bukunya itu menyimpulkan dengan kata-kata ini: "Saat ini damai di Aceh. Daerah itu masih merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi telah diberikan otonomi yang luas, termasuk di bidang keagamaan," tulis dia. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top