
AS Larang Pewarna Merah untuk Makanan karena Risiko Kanker
Produk yang menggunakan pewarna merah nomer 3 ditunjukkan pada foto ilustrasi pada tanggal 27 Desember 2024.
Foto: IstimewaWASHINGTON - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, pada hari Rabu (15/1), mengumumkan larangan pewarna merah nomer 3, pewarna makanan dan obat kontroversial yang telah lama diketahui menyebabkan kanker pada hewan.
Dikutip dari The Straits Times, menurut kelompok kerja lingkungan nirlaba, puluhan tahun setelah bukti ilmiah pertama kali menimbulkan kekhawatiran, Red 3, demikian sebutan lainnya, saat ini digunakan dalam hampir 3.000 produk makanan di Amerika Serikat.
“Food and Drug Administration (FDA) mencabut izin penggunaan FD&C (Federal Food, Drug, and Cosmetic Act) Red No. 3 dalam regulasi zat aditif pewarna pada makanan dan obat-obatan yang ditelan," kata sebuah dokumen dari Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan, yang dipublikasikan di Federal Register pada tanggal 15 Januari.
Keputusan ini menyusul petisi yang diajukan pada bulan November 2022 oleh Centre for Science in the Public Interest (CSPI) dan kelompok advokasi lainnya, yang mengutip “Klausul Delaney” - ketentuan yang mengamanatkan pelarangan bahan tambahan pewarna apa pun yang terbukti menyebabkan kanker pada manusia atau hewan.
Khususnya, FDA telah menetapkan sejak tahun 1990 bahwa Red 3 harus dilarang dalam kosmetik karena kaitannya dengan kanker tiroid pada tikus laboratorium.
Namun, bahan tambahan tersebut tetap digunakan dalam makanan, sebagian besar karena adanya penolakan dari industri makanan. Misalnya, produsen buah ceri maraschino mengandalkan Red 3 untuk mempertahankan warna merah khas produk mereka.
Zat ini juga terdapat dalam ribuan permen, makanan ringan, dan produk buah.
Amerika Serikat adalah salah satu negara ekonomi besar terakhir yang mengambil tindakan terhadap pewarna tersebut. Uni Eropa melarang penggunaannya pada tahun 1994, dan larangan serupa juga diterapkan di Jepang, Tiongkok, Inggris, Australia, dan Selandia Baru.
CSPI memuji keputusan itu sebagai sesuatu yang sudah seharusnya dan menyatakan harapan hal ini akan mengarah pada tindakan lebih lanjut terhadap bahan kimia lain yang berpotensi membahayakan dalam makanan.
“Mereka tidak menambahkan nilai gizi apa pun, mereka tidak mengawetkan makanan - mereka hanya ada untuk membuat makanan tampak cantik,” kata Thomas Galligan, seorang ilmuwan di CSPI.
“Terdapat diskusi yang berkembang di seluruh spektrum politik mengenai bahan tambahan makanan dan bahan kimia, yang mencerminkan kegagalan FDA yang terus berlanjut," tambahnya.
Redaktur: Marcellus Widiarto
Penulis: Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Ditlantas Polda Babel awasi pergerakan kendaraan lintas kabupaten
- 2 Andreeva Kejutkan Iga Swiatek dan Lolos ke Semifinal Dubai Open
- 3 Jangan Beri Ampun Pelaku Penyimpangan Impor. Itu Merugikan Negara. Harus Ditindak!
- 4 Dibalut Budaya Tionghoa, Ini Sinopsis Film Pernikahan Arwah (The Butterfly House)
- 5 Realisasi Anggaran Bekasi Baru 20 Persen
Berita Terkini
-
All Sedayu Hotel Hadirkan "1001 Nights of Ramadan Sedayu" dengan Menu Iftar dari Penjuru Dunia
-
Bank Mandiri Masuk Daftar Perusahaan Terbaik di Asia Pasifik 2025 Versi TIME
-
18 Tahun Setelah Film Pertama, Will Smith Pastikan I Am Legend 2 Dibuat
-
Kemenag Pastikan Seluruh Kuota Haji Khusus Tahun Ini Sudah Terisi
-
Studio Tour Harry Potter Pertama di Tiongkok akan Dibuka di Shanghai