
Arah Kebijakan Pangan Nasional Kini Berada di Titik Krusial
Dwijono Hadi Darwa nto Guru Besar Fakultas Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta - Diversifikasi pangan adalah langkah yang sangat baik dan strategis untuk mencapai ketahanan pangan jangka panjang.
Foto: antaraJAKARTA - Kebergantungan pada pangan impor yang cukup lama menyebabkan Indonesia kini berada di titik krusial dalam menentukan arah kebijakan pangan nasional. Tingginya kebergantungan pada impor menurut pengamat Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPN Veteran, Jakarta, Freesca Syafitri terlihat pada nilai impor pangan yang mencapai 11,88 persen dari total impor barang.
Pemerintah pun diminta untuk belajar ke Vietnam yang telah membuktikan bahwa dengan strategi yang tepat, sebuah negara dapat bertransformasi dari importir menjadi eksportir beras terkemuka.
“Diversifikasi pangan harus menjadi prioritas guna mengurangi ketergantungan pada beberapa komoditas utama yang rentan terhadap fluktuasi harga global,” tegas Freeca.
Indonesia katanya kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, retorika swasembada pangan terus digaungkan, namun di sisi lain, realitas global yang penuh ketidakpastian menuntut adanya transformasi mendalam dalam sistem pangan nasional.
Pada akhir pekan lalu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (DPN HKTI) Fadli Zon mengatakan, Indonesia harus swasembada karbohidrat dan protein.
“Ini dari dulu saya kira kita di HKTI coba, orientasinya juga swasembada pangan ini adalah swasembada karbohidrat, kemudian swasembada protein,” kata Fadli.
Untuk mewujudkan swasembada karbohidrat, maka komoditas yang dapat dikembangkan di Indonesia adalah jagung, sagu, ubi, talas, sorgum, dan berbagai umbi-umbian sebagai sumber pangan lokal. Hal itu berarti perlu ada diversifikasi pangan untuk menciptakan swasembada, sehingga Indonesia tak bisa hanya mengandalkan beras saja.
Sedangkan, swasembada protein, dia menilai banyak sumber protein di Tanah Air yang bisa diolah lebih lanjut seperti telur ayam dan berbagai komoditas di laut seperti ikan.
“Jadi, kita sangat bisa mempunyai satu target dalam waktu dekat swasembada karbohidrat dan swasembada protein,” kata Fadli.
Menanggapi hal itu, Guru Besar Fakultas Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dwijono Hadi Darwanto mendukung upaya diversifikasi pangan, namun dalam implementasinya harus mempertimbangkan tantangan produksi dan kebiasaan konsumsi masyarakat.
“Diversifikasi pangan adalah langkah yang sangat baik dan strategis untuk mencapai ketahanan pangan jangka panjang. Namun, tantangannya ada pada bagaimana meningkatkan produksi alternatif ini dan mengubah pola konsumsi masyarakat yang masih sangat beras-sentris,” kata Dwijono.
Pengembangan komoditas alternatif jelas Dwijono juga memerlukan dukungan kebijakan yang kuat, mulai dari insentif bagi petani, riset pertanian yang berkelanjutan, hingga kampanye edukasi kepada masyarakat untuk mengadopsi pola konsumsi yang lebih beragam.
“Tidak cukup hanya mengembangkan komoditas alternatif, tetapi juga harus ada dukungan dari pemerintah dan sektor swasta dalam hal teknologi, pasar, dan insentif bagi petani agar mereka mau beralih ke produksi pangan yang lebih beragam,” tambahnya.
Selain itu, Dwijono menekankan pentingnya kampanye dan dukungan terhadap produk-produk hilir hasil diversifikasi pangan. Menurutnya, keberhasilan diversifikasi tidak hanya bergantung pada produksi bahan baku, tetapi juga pada seberapa besar masyarakat terbiasa mengonsumsi produk berbasis non-gandum.
Jika produk-produk berbasis jagung, sagu, ubi, dan sorgum mendapat dukungan promosi yang kuat, permintaan akan meningkat secara alami. Dengan meningkatnya permintaan, petani akan lebih termotivasi untuk menanam komoditas substitusi gandum tanpa harus dipaksa melalui kebijakan langsung.
“Lidah masyarakat harus terbiasa dengan makanan non-gandum. Jika konsumsi meningkat dan ada pasar yang stabil, petani secara alami akan beralih ke produksi yang lebih menguntungkan tanpa perlu dorongan dari regulasi yang ketat,” jelasnya.
Buat Perencanaan
Pada kesempatan terpisah, Dosen Magister Ekonomi Terapan Unika Atma Jaya, YB. Suhartoko mengatakan, sumber karbohidrat sudah terdiversifikasi pada 50 tahun yang lalu berdasarkan kekuatan alam regional yang menghasilkan beras, jagung, sagu, talas dan singkong sebagai makanan pokok sumber karbohidrat.
Namun tanpa perencanaan kebijakan pangan yang tepat dan seolah-olah ada pembiaran, maka sumber karbohidrat terkonsentrasi hanya kepada beras. Dengan penduduk yang sangat banyak dan areal pertanian penghasil beras semakin menipis, tentu saja tidak bisa menutupi permintaan.
“Jika memang mau swasembada, jangan swasembada beras, namun pangan. Tentu ini membutuhkan perencanaan dan kerja keras untuk mewujudkan,”tegas Suhartoko.
Ia pun menyoroti dalam proses pengolahan pangan masih banyak bergantung pada bahan baku luar negeri. Misalnya, mie instan yang bergantung pada impor gandum sebagai bahan baku terigu. Padahal, sebenarnya bisa menggunakan bahan baku dalam negeri seperti sorgum.
“Sebenarnya kita punya sumber bahan baku yang melimpah yang berasal dari pangan lokal seperti singkong, sorgum dan beras,” pungkas Suhartoko.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Aksi Bersih Pantai Menteri LH dan Panglima TNI di Pangandaran, Peringati Hari Peduli Sampah
- 2 Jangan Beri Ampun Pelaku Penyimpangan Impor. Itu Merugikan Negara. Harus Ditindak!
- 3 Andreeva Kejutkan Iga Swiatek dan Lolos ke Semifinal Dubai Open
- 4 Bima Arya Tegaskan Retret Kepala Daerah Tingkatkan Kapasitas Kepemimpinan
- 5 Akademisi: Perlu Diingat, Kepala Daerah yang Sudah Dilantik Sudah Menjadi Bagian dari Pemerintahan dan Harus Tunduk ke Presiden