Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Arah Kabinet Joko Widodo

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Dinamika politik berubah drastis pascatumbangnya Presiden Soeharto. Sebab politik elektoral pasca-Soeharto semakin mengarah ke sistem multipartai yang kian terfragmentasi. Implikasinya, untuk membangun koalisi dalam sistem presidensial-multipartai menjadi semakin sulit dan dilematis.

Pilihan dilematis ini dibenarkan studi Mainwaring dan Shugart (1997) yang menilai, ketika presidensialisme dikombinasikan dengan sistem partai yang terfragmentasi atau multipartai, maka kencenderungan akan muncul presiden minoritas dengan dukungan legislatif yang lemah. Tentu presiden akan kerap berhadapan dengan lembaga legislatif yang antagonistik dan tidak mampu mengarahkan agenda pemerintahan dengan baik. Bahkan akan cenderung menggiring pada kegaduhan politik.

Potensi kegaduhan politik yang melelahkan itu akan mungkin terjadi. Sebab saat ini Indonesia memasuki era post-truth, di mana kegaduhan politik bisa diciptakan bukan saja berasal dari parlemen, tapi juga dari media sosial oleh para buzzer politik.

Jika sudah demikian, di era reformasi yang menganut sistem multipartai, keinginan membentuk zaken kabinet bisa dikatakan sebagai pekerjaan amat sulit karena kepentingan partai masih dianggap nomor satu. Apalagi era multipartai akan membuat Presiden Joko Widodo tidak leluasa dalam membangun kabinet di tengah gemuknya koalisi pengusung.

Selain itu, kontur kontestasi Pemilu 2019 agak berbeda dengan kontestasi Presidensial 2014. Sebab, pada 2014 dukungan relawan sebagai gerakan nonpartai kepada Presiden Joko Widodo lebih besar ketimbang mesin partai politik (parpol). Hal itu berbeda dengan kontestasi 2019 di mana mesin partai politik lebih mendominasi dalam pengorganisasian tim kampanye nasional.
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top