Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Arah Kabinet Joko Widodo

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

oleh bambang arianto, ma

Akhir-akhir ini usulan pembentukan zaken kabinet (kabinet yang diisi para ahli di bidangnya) merupakan sebuah keniscayaan jika sebuah pemerintahan hendak mengelola negara secara maksimal kian menguat. Tentu usulan tersebut layak untuk didiskusikan lebih lanjut. Sebab, masa depan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke depan sangat tergantung pada kinerja para menterinya.

Perlu menjadi catatan bersama, usulan membentuk zaken kabinet layak diapresiasi. Apalagi dalam historiografi politik, Indonesia pernah membangun zaken kabinet. Tercatat pada masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) ada tiga zaken kabinet: Kabinet Natsir, Kabinet Wilopo, dan Kabinet Djuanda.

Meski zaken kabinet di era Demokrasi Parlementer bisa meredam kegaduhan antarpartai politik, akhirnya bubar juga. Sebab mengalami nasib tragis akibat situasi politik dalam negeri yang terus bergolak, di antaranya pemberontakan dan isu perebutan Irian Barat. Sedangkan di era Orde Baru, zaken kabinet dapat berjalan efektif hanya terjadi dalam hasil Pemilu 1972, 1977, 1982, 1987, dan 1992.

Kala itu, perolehan suara Golongan Karya (Golkar) di atas 70 persen pada rezim Presiden Soeharto. Presiden Soeharto bisa dengan mudah membentuk zaken kabinet. Akan tetapi, zaken kabinet hasil Pemilu 1997 akhirnya tumbang satu tahun kemudian, tanggal 21 Mei 1998, setelah Presiden Soeharto dipaksa mundur dari kursi presiden.

Dinamika politik berubah drastis pascatumbangnya Presiden Soeharto. Sebab politik elektoral pasca-Soeharto semakin mengarah ke sistem multipartai yang kian terfragmentasi. Implikasinya, untuk membangun koalisi dalam sistem presidensial-multipartai menjadi semakin sulit dan dilematis.

Pilihan dilematis ini dibenarkan studi Mainwaring dan Shugart (1997) yang menilai, ketika presidensialisme dikombinasikan dengan sistem partai yang terfragmentasi atau multipartai, maka kencenderungan akan muncul presiden minoritas dengan dukungan legislatif yang lemah. Tentu presiden akan kerap berhadapan dengan lembaga legislatif yang antagonistik dan tidak mampu mengarahkan agenda pemerintahan dengan baik. Bahkan akan cenderung menggiring pada kegaduhan politik.

Potensi kegaduhan politik yang melelahkan itu akan mungkin terjadi. Sebab saat ini Indonesia memasuki era post-truth, di mana kegaduhan politik bisa diciptakan bukan saja berasal dari parlemen, tapi juga dari media sosial oleh para buzzer politik.

Jika sudah demikian, di era reformasi yang menganut sistem multipartai, keinginan membentuk zaken kabinet bisa dikatakan sebagai pekerjaan amat sulit karena kepentingan partai masih dianggap nomor satu. Apalagi era multipartai akan membuat Presiden Joko Widodo tidak leluasa dalam membangun kabinet di tengah gemuknya koalisi pengusung.

Selain itu, kontur kontestasi Pemilu 2019 agak berbeda dengan kontestasi Presidensial 2014. Sebab, pada 2014 dukungan relawan sebagai gerakan nonpartai kepada Presiden Joko Widodo lebih besar ketimbang mesin partai politik (parpol). Hal itu berbeda dengan kontestasi 2019 di mana mesin partai politik lebih mendominasi dalam pengorganisasian tim kampanye nasional.

Lebih Besar

Artinya, bisa jadi tekanan dari parpol yang tergabung dalam tim kampanye nasional akan lebih besar untuk menempatkan kadernya sebagai menteri. Apalagi diketahui idiom "tidak ada makan siang gratis dalam politik."

Anggapan bahwa membangun zaken kabinet dapat menghindari korupsi politik itu jelas. Tapi mengutamakan para teknokrat yang bukan berasal dari kader partai tentu sama saja bunuh diri. Tidak ada elite parpol rela menyerahkan kursi yang sudah diraihnya dengan susah payah kepada teknokrat yang belum tentu dapat dikendalikan dari internal parpol. Apalagi untuk menghadapi kontestasi 2024 parpol juga harus mengamankan masa depannya dengan menempatkan kadernya menjadi menteri.

Justru dalam pemerintahan kedua Joko Widodo, parpol pengusung tentu memiliki segudang kepentingan dengan jabatan menteri. Hingga tidak heran bila kemudian tersebar rumor bahwa Partai Demokrat ingin mendorong Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi menteri. Hal itu tampak dari silaturahmi beruntun ke Megawati saat Idul Fitri. Ini bisa dikatakan sebagai sinyal masuknya Partai Demokrat ke dalam kabinet Jokowi.

Gelagat tersebut tentu tidak salah karena posisi menteri dapat menyemai AHY untuk ikut bertarung dalam kontestasi 2024 mendatang. Lagi pula momentum 2019 inilah yang akan menjadi kesempatan emas bagi kader masa depan partai untuk membangun citra positif dengan ikut masuk dalam kabinet pemerintahan Joko Widodo.

Bahkan, godaan untuk masuk dalam pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin juga datang dari Partai Gerindra yang selama ini selalu kritis terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal itu tampak dari mulai menurunnya tensi pengawasan kepada pemerintahan Joko Widodo. Partai Gerindra yang terlihat kian melunak. Tentu bagi Partai Gerindra perolehan kursi menteri akan membuat tren positif bagi partai ini dalam berkontestasi pada Pemilu 2014 mengingat Presiden Joko Widodo tidak lagi bisa ikut berkontestasi.

Singkat kata, masyarakat tidak perlu risau bila politisi menjadi menteri sepanjang penempatannya linier dengan disiplin ilmunya. Masalah muncul bila politisi yang sengaja dipaksakan memimpin sebuah kementerian, yang tidak sesuai dengan keahliannya. Dengan kata lain, bisa saja ada teknokrat dari politisi menjadi menteri dan sebaliknya politisi yang sebelum masuk partai adalah seorang teknokrat dalam bidang tertentu.

Melihat identifikasi tersebut, tentu jalan tengah arah kabinet pemerintahan Joko Widodo dengan pembentukan kabinet selera rakyat yang berisi para teknokrat dan wakil partai, tapi memiliki keahlihan serta komitmen untuk bekerja atas nama rakyat. Keinginan rakyat ini tentu tidak salah. Sebab warga menginginkan para menteri yang dapat segera menyelesaikan persoalan riil rakyat.

Lagi pula publik tentu tidak terlalu merisaukan menteri berasal dari politisi ataukah teknokrat. Terpenting mereka benar-benar bisa bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan bekerja hanya untuk kepentingan partai politik. Penulis Dosen Universitas Nahdlatul Ulama, Yogyakarta



Komentar

Komentar
()

Top