Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kerusuhan di India I Korban Tewas dalam Kerusuhan di Delhi Jadi 33 Orang

Aksi Sporadis Masih Terjadi di Delhi

Foto : AFP

tolak kekerasan l Delegasi Partai Kongres yang dipimpin ketua partai yaitu Sonia Gandhi (tengah) berjalan ketika hendak menemui Presiden India, Ram Nath Kovind, untuk menyerahkan memorandum yang menolak aksi kekerasan yang terjadi di Delhi pada Kamis (27/2). Pihak kepolisian India menyebut korban tewas akibat kerusuhan berdarah di Delhi saat ini mencapai 33 orang.

A   A   A   Pengaturan Font

Jumlah korban tewas dalam aksi kerusuhan sektarian di Delhi, India, terus bertambah. Pihak kepolisian menyebut bahwa sejumlah aksi sporadis masih terjadi hingga Rabu malam lalu.

NEW DELHI - Aksi kekerasan sporadis masih terjadi di Delhi pada Rabu (26/2) malam saat segerombolan orang memenuhi jalanan yang sebelumnya terjadi aksi kerusuhan sektarian yang membunuh hingga 33 orang.

Hal itu disampaikan pihak kepolisian pada Kamis (27/2) saat memberikan taklimat soal patroli yang dilakukan polisi antihuru-hara dan aparat paramiliter di bagian timur laut dari Ibu Kota India itu demi mencegah terjadinya kerusuhan lebih besar.

"Semalam memang tidak terjadi insiden besar," kata juru bicara polisi Delhi, Mandeep Randhawa, dalam sebuah konferensi pers bersama dinas pemadam kebakaran. "Selama 3 hari terakhir kami menerima panggilan telepon sebanyak 230 kali di seluruh area terutama di wilayah yang terjadi pembakaran. Namun semalam kami hanya menerima 19 panggilan telepon saja," kata Atul Garg, kepala dinas pemadam kebakaran Delhi.

Kerusuhan berdarah di Delhi dipicu oleh diberlakukannya UU Kewarganegaraan yang digagas Perdana Menteri Narendra Modi. Berdasarkan keterangan direktur Rumah Sakit Guru Teg Bahadur bernama Sunil Kumar, pihaknya menerima 30 orang tewas dalam kerusuhan berdarah di Delhi, sementara kepala medis di RS Lok Nayak bernama Kishore Singh menyatakan bahwa mereka menerima 3 orang tewas dan 10 korban lainnya dalam mengalami luka serius.

"Semua yang tewas di rumah sakit kami akibat luka tembakan," kata Kumar.

Kerusuhan sektarian di Delhi ini terkait UU Kewarganegaraan ini bukan yang pertama karena sebelumnya pada Desember lalu juga terjadi insiden serupa yang menewaskan sekitar 30 orang di Negara Bagian Uttar Pradesh yang mayoritas populasinya adalah warga Muslim.

Sekitar 200 juta umat Muslim warga India khawatir jika diberlakukan UU ini maka mereka akan kehilangan kewarganegaraannya dan mereka akan digiring ke kamp penahanan.

Pengkritik PM Modi menyebut bahwa UU ini anti-Muslim dan bagian dari agenda nasionalis Hindu Modi, dan para politisi dari partai pendukung Modi, BJP, telah menghasut hingga memicu kerusuhan. Atas tudingan itu pihak BJP telah membantahnya dan menyebut para demonstran itu sebagai pihak yang anti-nasional.

Pemerintah India sebelumnya telah bersumpah untuk menyingkirkan para "penyusup" dari India dan Menteri Dalam Negeri Amit Shah menyamakan imigran tidak berdokumen dengan "rayap" yang sedang mengerogoti India. Pemerintah India mengatakan undang-undang kewarganegaraan tidak menargetkan kaum minoritas tetapi sebaliknya menjamin perlindungan bagi non-Muslim yang dianiaya di negara-negara tetangga.

Tuntutan AS

Terkait kerusuhan sektarian di Delhi, Komisi pemerintah Amerika Serikat (AS) pada Rabu mempermasalahkan reaksi India terhadap kerusuhan berdarah di Delhi dan mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan cepat untuk melindungi minoritas Muslim.

Komisi AS tentang Kebebasan Beragama Internasional, yang memberi nasihat kepada pemerintah AS tetapi tidak menetapkan kebijakan, menyuarakan keprihatinan serius tentang kekerasan yang pecah ketika Presiden AS, Donald Trump, berkunjung ke India.

"Salah satu tugas penting dari setiap pemerintah yang bertanggung jawab adalah untuk memberikan perlindungan dan keamanan fisik bagi warganya, terlepas dari kepercayaannya," kata ketua komisi, Tony Perkins. ang/AFP/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : AFP

Komentar

Komentar
()

Top