Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Perlindungan Konsumen I Sekitar 85% dari Total Aduan ke BPKN Terkait Transaksi Perumahan

Aduan Transaksi Perumahan Tertinggi

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Pemerintah diminta memperketat pengawasan terhadap implementasi transaksi perumahan yang dilakukan oleh pengembang, baik kecil maupun besar.

Jakarta - Transaksi perumahan menjadi masalah yang paling banyak dikeluhkan konsumen. Masyarakat mengeluhkan soal pengabaian hak-haknya sebagai konsumen.

Berdasarkan data Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), selama 2017 hingga sepanjang 2018, transaksi sektor perumahan sering kali dikeluhkan konsumen. Dari 241 pengaduan yang masuk ke BPKN, sekitar 207 pengaduan terkait sektor perumahan atau sekitar 85 persen dari total aduan.

Ketua BPKN, Ardiansyah Parman, mencontohkan masih banyak terjadi pemasaran perumahan yang tidak memiliki landasan hak atas lahan perumahan, muatan transaksi dan pelaksanaan kontrak kurang berkeadilan serta kurang jelasnya skema. Dengan demikian, hak konsumen atas sertifikat menjadi tidak jelas.

"Ada rumahnya, bahkan pembelinya sudah mendiami rumah itu bertahun-tahun, tetapi sertifikatnya masih sama pengembang. Padahal, regulasi mengharuskan jika konsumennya sudah membeli maka harus ada sertifikat dan IMB (Izin Mendirikan Bangunan)-nya. Masalah seperti ini sangat banyak, belum lagi masalah lahan," ungkapnya, di Jakarta, Senin (30/7).

BPKN menduga adanya penyimpangan dokumen perumahan. Contoh lainnya, lahan yang masih dalam proses perizinan dan belum selesai atau lahan belum bebas sengketa, sementara penjualan ke konsumen tetap berjalan. Kasus seperti ini banyak terjadi di berbagai kota, baik Bogor, Jakarta, Tangerang, dan Bekasi.

Umumnya, penawaran perumahan belum dilengkapi dengan persyaratan-persyaratan yang ada. Padahal dalam Undang-Undang (UU) untuk menjual rumah minimal 20 persen dari rencana pembangunan harus sudah terealisasi, baru bisa dipasarkan melalui iklan. Selama ini yang dijual kebanyakan brosurnya, fisiknya belum ada. Ini tentunya merugikan negara karena cash flow-nya tertunda, sementara konsumen, dia akan dikenakan pembengkakan biaya pajak yang setiap tahun meningkat.

Masalah lainnya, status kepemilikan menjadi tidak jelas dan terkadang terjadi pembatalan pemesanan unit serta mutu bangunan yang rendah. Selain masalah pada legalitas bangunan, masalah lainnya yang banyak dikeluhkan juga pada pembiayaan.

Terkait itu, BPKN meminta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memperketat pengawasan terhadap implementasi transaksi perumahan.

BPKN menyampaikan sejumlah rekomendasi penting untuk Kementerian PUPR. Beberapa di antaranya yakni menegakan dispilin pemasaran oleh developer (pengembang), memberikan sanksi tegas kepada developer yang melanggar serta bersama Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyusun peraturan bersama tentang keamanan transaksi termasuk transaksi online.

Awasi Iklan

Khusus untuk Kemendag, diminta membuat aturan tentang pengawasan iklan, pengawasan cara menjual dan pengawasan klausal baku. Selama ini belum ada regulasi yang mengatur tentang pengawasan iklan dan pengawasan cara menjual, sedangkan pengawasan klausula baku belum diatur secara baik. Adapun kepada OJK, BPKN meminta menetapkan mekanisme kontrol pada bank untuk memastikan pengusaan sertifikat.

Wakil Ketua BPKN Rolas B Sitinjak menambahkan permasalahan ini bukan hanya dilakukan oleh developer kecil tetapi juga pengembang kelas kakap.

Bahkan, kasus mutu bangunan dan masalah sertifikat itu juga terjadi pada rumah subsidi dari pemerintah melalui Kementerian PUPR.

ers/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top