Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Rabu, 13 Sep 2023, 00:04 WIB

24 Juta Orang Lagi Berisiko Kelaparan

Foto: Sumber: BPS - kj/ones

JAKARTA - Badan PBB yang menangani Program Pangan Dunia (WFP), pada Selasa (12/9), mengatakan pendanaannya menyusut sehingga memaksa mereka memangkas jatah makan secara drastis di berbagai wilayah operasi. Lembaga tersebut juga memperingatkan bahwa 24 juta orang lagi berisiko terdesak masuk ke ambang kelaparan.

WFP mengaku kesulitan memenuhi bantuan kebutuhan pangan global yang terus meningkat, di tengah lembaga itu berhadapan dengan kekurangan dana lebih dari 60 persen tahun ini atau yang tertinggi dalam sejarah badan itu.

"Untuk pertama kalinya, WFP melihat kontribusinya menurun, sementara kebutuhan terus meningkat," sebut WFP seperti dikutip dari VOA Indonesia.

Kondisi tersebut bisa menimbulkan konsekuensi yang mengerikan, karena para ahli WFP memperkirakan bahwa untuk setiap satu persen pengurangan bantuan pangan, lebih dari 400.000 orang berisiko jatuh ke dalam tingkat kelaparan darurat.

Mengingat pengurangan drastis yang terpaksa dilakukan, WFP memperingatkan dalam pernyataannya bahwa 24 juta orang lagi bisa mengalami kelaparan darurat dalam 12 bulan ke depan atau meningkat 50 persen dari jumlah yang ada saat ini.

Ketua WFP, Cindy McCain, mengatakan pendanaan yang lebih besar sangat penting.

"Jika kita tidak menerima dukungan yang diperlukan untuk mencegah bencana lebih lanjut, dunia pasti akan menyaksikan lebih banyak konflik, lebih banyak kerusuhan, dan lebih banyak kelaparan," katanya.

"Entah kita mengipasi api ketidakstabilan global atau kita bekerja cepat untuk memadamkan api."

WFP juga memperkirakan bahwa 345 juta orang di seluruh dunia menghadapi kerawanan pangan akut, yang berada pada tingkat tiga atau lebih tinggi dalam klasifikasi kerawanan pangan berskala lima PBB, yang dikenal sebagai Integrated Food Security Phase Classification (IPC).

Sebanyak 40 juta dari mereka saat ini dianggap berada pada tingkat kelaparan darurat, atau IPC level 4, yang berarti mereka terpaksa mengambil tindakan putus asa untuk bertahan hidup dan berisiko meninggal karena kekurangan gizi.

"Bantuan pangan WFP adalah penyelamat yang penting, sering kali menjadi satu-satunya hal yang menjauhkan mereka dari kelaparan," katanya.

Badan tersebut mengatakan bahwa mereka terpaksa melakukan pengurangan besar-besaran di hampir separuh operasinya, termasuk di titik-titik rawan, seperti Afghanistan, Bangladesh, Haiti, dan Suriah.

Di Afghanistan, di mana separuh penduduknya sangat rawan pangan, WFP misalnya pada bulan Mei, terpaksa mengurangi bantuannya sebesar 66 persen, yang berarti sekitar delapan juta orang yang membutuhkan tidak lagi menerima bantuan pangan.

Pada Juli, 45 persen penerima bantuan di Suriah dan seperempat penerima bantuan WFP di Haiti tidak lagi menerima bantuan.

Para ahli di Badan Pangan PBB itu kini khawatir bahwa "lingkaran malapetaka" kemanusiaan sedang dipicu, di mana WFP terpaksa "hanya menyelamatkan mereka yang sangat kelaparan, dengan mengorbankan mereka yang kelaparan".

McCain bersikeras bahwa "hanya ada satu jalan keluar dari masalah ini". "Kita perlu mendanai operasi darurat untuk memberi makan mereka yang kelaparan saat ini sekaligus berinvestasi pada solusi jangka panjang yang mengatasi akar penyebab kelaparan," katanya.

Masalah Data

Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Eugenia Mardanugraha, mengatakan apabila ekonomi beras ditata dengan baik, tidak ada kecurangan, monopoli, atau korupsi, maka ia yakin produksi beras cukup untuk makanan rakyat sehingga tidak kelaparan.

Masalah kelaparan ini sangat terkait dengan masalah data/pendataan. Apabila WFP mengetahui 24 juta orang tersebut tersebar di negara mana, akan lebih mudah untuk mengatasinya karena kelaparan tidak harus terjadi hanya karena kekurangan dana.

Orang yang berkecukupan dapat membagi makanannya kepada yang berada di ambang kelaparan. Banyak cara untuk memperbaiki distribusi makanan, apalagi saat ini saja masih banyak makanan yang terbuang.

Masalah data yang cukup parah dialami oleh Indonesia, padahal dari data ini pula untuk mengukur tingkat kemandirian pangan nasional. "Indonesia tidak memiliki catatan produksi pangan yang sebenarnya, sehingga pengadaan impor belum tentu didukung oleh data yang akurat," kata Eugenia.

Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia (SPI), Muhammad Qomarunnajmi menanggapi bahaya kelaparan yang disampaikan WFP mengatakan bahwa Indonesia tidak siap dan tidak mempersiapkan diri untuk kemandirian pangan. Buktinya, food estate gagal semua. Ia pun meminta pemerintah untuk mengevaluasi program food estate karena hasilnya tak sesuai harapan.

"RI rentan terhadap masalah kekurangan pangan karena lemahnya pelibatan petani dalam penganggaran masalah ketahanan pangan, karena produsen panganlah yang paham masalah di lapangan. Makanya, anggaran sering tidak tepat sasaran," kata Qomar.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.