Persoalan Kemiskinan Mesti Dilihat secara Multidimensi

Ket.
Doc: ISTIMEWA
JAKARTA - Persoalan kemiskinan harus dilihat secara multidimensi. Pemerintah jangan hanya melihat persoalan ini dengan indikator absolut, yakni kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar.
"Kita (pemerintah) harus bergerak lebih maju, melampaui sekadar penurunan kemiskinan menuju penciptaan kesejahteraan yang lebih substantif. Kita harus membuat ukuran kemiskinan relatif, yakni ukuran yang dinamis dan mengacu pada standar kualitas hidup yang multidimensi, misalnya dimensi kesehatan, pendidikan, perumahan, akses terhadap air bersih dan energi," kata pengamat kebijakan publik yang juga Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Ah Maftuchan, saat konferensi pers bertajuk "Bukan Sekadar Menurunkan Kemiskinan, tetapi Melawan Ketimpangan untuk Pencapaian SDGs", di Jakarta, Rabu (8/8).
Dalam jumpa pers yang diadakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pencapaian Agenda Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), Maftuchan menuturkan data angka kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini masih melihat kemiskinan dari segi ekonomi saja yang mewakili satu dimensi, yakni dari sisi pengeluaran per kapita, yang berarti BPS mendefinisikan kemiskinan hanya dengan mengukur kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan dasar.
Sebelumnya, BPS mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret mencapai 25,95 juta orang atau 9,82 persen, menurun dibanding kurun yang sama tahun lalu yang tercatat 27,77 juta orang atau 10,64 persen dari populasi.
Menurut Maftuchan, data itu masih menggunakan indikator ekonomi yakni dari sisi pengeluaran per kapita per bulan. Garis Kemiskinan yang digunakan BPS masih condong melihat kemiskinan dari kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar berupa makanan. Hal ini dapat dilihat dari dominannya peranan makanan sebesar 73,48 persen terhadap garis kemiskinan dibanding nonmakanan.
"Hal itu dapat menyembunyikan kemiskinan yang sesungguhnya karena tidak melihat kemiskinan secara multidimensi, dinamis dan relatif berdasarkan standar yang melampaui lapar dan haus saja," jelas Maftuchan.
Anda mungkin tertarik:
Melalui pendekatan multidimensi untuk memahami persoalan kemiskinan itu, maka pemerintah dan pihak terkait dalam agenda pembangunan akan dapat melihat kondisi kemiskinan yang riil di lapangan.
Dengan demikian, lanjutnya, agenda pembangunan strategis ke depan harus melampaui penurunan garis kemiskinan yaitu dengan menciptakan kesejahteraan dan kualitas hidup yang lebih baik.
Dalam mendorong percepatan kesejahteraan rakyat, kata Maftuchan, pemerintah harus segera memperkuat program sosial antara lain basic income, padat karya, jaminan kesehatan nasional sekaligus mendorong pembangunan sumber daya manusia sehingga dapat menurunkan tingkat pengangguran dan meningkatkan pendapatan rakyat.
Penguatan SDM
Sementara itu, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) siap menjadi agen perubahan pengentasan kemiskinan dengan menguatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang ada di desa.
"Kami mengalokasikan cukup banyak anggaran untuk peningkatan kapasitas dan pengembangan SDM di kementerian kita ini. Sehingga kementerian ini bisa menjadi agen perubahan atau fasilitator untuk mengentaskan kemiskinan, pengurangan desa-desa tertinggal serta meningkatkan desa berkembang di Indonesia," kata Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Eko Putro Sandjojo.
Eko menambahkan, sebagai kementerian strategis yang bertugas untuk percepatan pembangunan desa, penting bagi para pegawai untuk memiliki kapasitas kepemimpinan yang baik. Kapasitas tersebut, lanjutnya, akan membantu para pengambil keputusan mengambil kebijakan yang tepat sasaran. Mendes juga mengapresiasi komitmen para pegawai yang menunjukkan perubahan dalam tiga tahun ini. eko/Ant/E-3