Pemerintah Mesti Pacu Ekspor Hasil Industri
JAKARTA - Target pertumbuhan industri sebesar 5,67 persen diakui cukup berat. Namun, pemerintah bisa melakukan beberapa upaya penting untuk mengejar target tersebut. Bila tidak, pertumbuhan industri tidak mencapai target dan bahkan sulit menyentuh level lima persen.

Ket.
Doc: istimewa
Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Telisa Aulia Valianty menilai salah satu masalah utama industri RI adalah masih mengandalkan ekspor dalam bentuk bahan mentah.
"Itu sudah terjadi sejak lama. Untuk itu, ekspor dalam bentuk jadi harus didorong agar target pertumbuhan industri bisa tercapai," ungkapnya di Jakarta, Rabu (3/1).
Selain mendorong ekspor industri, pemerintah bisa mengoptimalkan deregulasi kebijakan. Kemudian juga terus memudahkan fasilias di kawasan industri, agar investasi terus menggairahkan. Di sisi lain, pemerintah juga harus mampu menjaga daya beli masyarakat, karena tujuan akhir barang industri ialah daya beli.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berupaya untuk terus mengurangi hambatan di pasar ekspor. Pasalnya, pasar ekspor RI juga masih terkendala kebijakan di negara tujuan, termasuk penetapan tarif bea masuk untuk produk-produk industri dari Indonesia. Padahal, bila hambatannya itu dikurangi, kinerja indusri tekstil dan alas kaki juga akan ikut naik.
Hambatan tarif ini masih terjadi karena sejumlah perjanjian kerja sama ekonomi belum rampung disepakati, di antaranya dengan Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. "Saat ini dalam proses negosiasi untuk bilateral agreement tersebut, seperti bea masuk ekspor produk tekstil Indonesia masih dikenakan 5-20 persen, sedangkan ekspor Vietnam ke Amerika dan Eropa sudah nol persen," ungkap Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.
Subsektor Manufaktur
Anda mungkin tertarik:
Lebih jauh, Airlangga masih optimistis subsektor manufaktur akan menjadi penopang pertumbuhan industri 2018. Subsektor itu seperti industri baja dan otomotif, elektronika, kimia, farmasi, serta makanan dan minuman. Subsektor ini diharapkan mampu mencapai target pertumbuhan industri pengolahan non-migas 2018 yang ditetapkan 5,67 persen.
Airlangga menyebutkan pada triwulan III-2017, beberapa subsektor itu kinerjanya di atas pertumbuhan ekonomi. Misalnya, industri logam dasar sebesar 10,60 persen, industri makanan dan minuman 9,49 persen, serta industri alat transportasi 5,63 persen.
Menperin meyakini sektor manufaktur masih menjadi kontributor terbesar bagi perekonomian nasional, di antaranya melalui peningkatan nilai tambah bahan baku dalam negeri, penyerapan tenaga kerja lokal, dan penerimaan devisa dari ekspor. "Oleh karena itu, Kemenperin fokus menjalankan kebijakan hilirisasi industri," ungkap Airlangga.
Badan Pusat Statistik mencatat ekspor nonmigas hasil industri pengolahan pada Januari-November 2017 naik 14,25 persen dibanding periode sama 2016. Sementara itu, pada semester I-2017, ekspor industri pengolahan non-migas mencapai 59,78 miliar dollar AS, naik 10,05 persen dibandingkan periode sama 2016 sebesar 54,32 miliar dollar AS.ers/E-10