Transformasi Ekonomi
Foto: koran jakarta/onesdr haryo kuncoro, se, msi
Dua momen penting di bidang ekonomi terjadi di awal Agustus dengan rentang waktu yang berdekatan. BPS (5/8) merilis kinerja perekonomian nasional selama triwulan kedua 2019 dan seminar nasional dalam rangka perayaan ulang tahun Kementerian Koordinator Perekonomian ke-53 pekan lalu (9/8). Seminar mengambil tema Transformasi Ekonomi untuk Indonesia Maju. Misi utamanya, mencari cara membebaskan Indonesia dari jebakan negara berpenghasilan menengah.
Benang merah keduanya, kesadaran bersama untuk merespons kinerja perekonomian nasional selama empat tahun terakhir. Pada triwulan kedua 2019, misalnya, ekonomi hanya tumbuh 5,05 persen. Ini melambat dibanding periode sama tahun lalu yang mampu tumbuh 5,27 persen.
Sinyal perlambatan ekonomi agaknya juga terpancar dari performa pertumbuhan kuartalan. Selama periode sama, ekonomi Indonesia hanya meningkat 4,2 persen dari triwulan pertama 2019. Angka ini nyaris sama dengan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun lalu (4,21 persen).
Pertumbuhan sektor industri manufaktur yang dominan terhadap PDB, 19,52 persen tercatat hanya 3,54 persen. Angka ini pun melambat dari periode sama tahun lalu 3,88 persen. Kedua angka pertumbuhan tersebut juga masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Proses deindustrialisasi sudah menggejala.
Komparasi dengan data mikro sepertinya tidak mengubah kesimpulan awal. Survei Konsumen Bank Indonesia Juli 2019 menunjukkan indeks keyakinan konsumen (IKK) berada di 124,8. Akan tetapi, IKK tersebut masih lebih rendah dari bulan sebelumnya 126,4.
Persoalan stagnasi ekonomi tidak berhenti di situ. Indeks penjualan riil (IPR) Juni 2019 menurun 1,8 persen dari bulan sebelumnya 7,7 persen. Celakanya lagi, penurunan terjadi pada komoditas leissure (kelompok barang budaya dan rekreasi) yang diklaim sebagai representasi penggeliatan ekonomi.
Sehimpun fakta tadi mengindikasikan belum ada perubahan substansial dalam dinamika perekonomian nasional. Tanda-tanda pergeseran struktur ekonomi baik secara absolut maupun relatif tidak tampak. Alhasil, angka pertumbuhan ekonomi 5 persen dipandang sebagai pertumbuhan alami (natural growth).
Stagnasi ekonomi mengindikasikan secara implisit tidak ada sektor yang menjadi penggerak utama dalam mendorong pertumbuhan. Artinya, perekonomian terkesan bergerak sendiri secara apa adanya tanpa pilot yang mampu memberi arahan ke mana dan bagaimana ekonomi mesti bergerak. Istilah populernya business as usual.
Kecenderungan ini tentu saja memprihatinkan. Penciptaan kesempatan kerja dan penurunan jumlah penduduk miskin tidak material. Pertumbuhan ekonomi yang di bawah ekspektasi juga terbukti menyebabkan rasio current account deficit (CAD) pada periode yang sama membengkak hingga 3 persen dari PDB.
Tesis perekonomian autopilot tampaknya semakin mendekati kenyataan. Peran pemerintah yang digadang bisa menjadi pionir pertumbuhan agaknya masih jauh panggang dari api. Efektivitas belanja negara dalam menyokong pertumbuhan ekonomi relatif lemah lantaran kualitas belanja yang rendah.
Paket kebijakan yang sudah sampai pada seri ke-16 tidak "nendang" menggerakkan ekspor. Demikian pula, sejumlah insentif fiskal yang ditawarkan pemerintah tidak menarik banyak minat pelaku bisnis untuk menanamkan modalnya. Alhasil, kebijakan ekonomi berefek sangat lamban.
Imbas jangka panjangnya, jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap) menjadi semakin panjang. Dengan pertumbuhan ekonomi 6 persen saja per tahun, Indonesia akan keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah pada 2040. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi ke depan dituntut lebih tinggi lagi.
Tuntutan untuk tumbuh akan semakin berat. Perang dagang antara Amerika dan Tiongkok memunculkan kekhawatiran pelemahan aliran perdagangan dari dan ke dua negara adi daya ekonomi dunia tersebut. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi semua mitra dagang akan tertekan yang berimbas pada kinerja ekonomi Indonesia.
Radikal
Dengan alur logika ini, tampaknya kebijakan yang radikal diperlukan untuk mentransformasi ekonomi Indonesia. Mengikuti Rosenstein-Rodan (1943), dorongan yang besar dibutuhkan untuk mengatasi ketertinggalan dengan memanfaatkan jaringan kerja melalui skala kehematan dan cakupan (economies of scale and scope).
Peluang itu bisa diletakkan pada industri pengolahan. Tabel Input-Output menunjukkan indeks daya penyebaran industri pengolahan sebesar 1,09. Artinya, kenaikan permintaan akhir satu persen akan meningkatkan pertumbuhan industri penghasil input penyokongnya sebesar 1,09 persen.
Relatif kuatnya daya dukung industri pengolahan dikonfirmasi dari tingginya indeks daya kepekaan industri pengolahan (1,75). Kenaikan permintaan akhir satu persen akan meningkatkan pertumbuhan industri turunannya sebesar 1,75 persen. Intinya, mekanisme multiplier effect lintas sektoral signifikan menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Alhasil, langkah krusial dalam jangka pendek adalah reindustrialisasi. Industri pengolahan harus mampu memberi nilai tambah (value added) pada produk-produk sektor primer. Sejalan dengan itu, hilirisasi subsektor industri manufaktur yang memiliki keterkaitan kuat ke depan (forward linkage) patut dijadikan prioritas.
Lebih lanjut, infrastruktur lunak (soft infrastucture) dan infrastruktur keras (hard infrastucture) perlu dirintis bagi kondisivitas sumber-sumber baru pertumbuhan ekonomi. Ekonomi digital, ekonomi kreatif, dan pariwisata layak dijadikan sebagai icon baru ekonomi Indonesia di masa mendatang.
Ikhtiar di atas masih bisa digapai lewat koordinasi semua pemangku kepentingan. Namun, tantangan terberat transformasi ekonomi Indonesia sejatinya adalah mengangkat "ekonomi bawah tanah" (underground economy) ke permukaan sehingga menjadi ekonomi riil. Potensi ekonomi bawah tanah ini sejatinya cukup besar.
Menurut Medina dan Scheneider (2018), angka ekonomi bayangan (shadow economy) di Indonesia mencapai 26,6 persen terhadap PDB. Alhasil, kemampuan mentransformasi ekonomi bayangan 10 persen saja sudah mampu menaikkan angka pertumbuhan ekonomi nasional ke level 7 persen per tahun.
Pada akhirnya, kunci utama keluar dari stagnasi ekonomi adalah kemauan politik (political will) pemerintah. Tanpa keberanian meramu kebijakan yang radikal, ekonomi mode autopilot tetap teraktivasi. Jika demikian, atribut negara maju yang menandai perayaan satu abad proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tinggal mimpi belaka. Penulis Doktor Ilmu Ekonomi Alumnus PPs UGM Yogyakarta
Redaktur:
Penulis: Arip, CS Koran Jakarta, Dika, Dimas Prasetyo, Dio, Fandi, Fathrun, Gembong, Hamdan Maulana, Hayyitita, HRD, Ichsan Audit, Ikn, Josephine, Kelly, Khoirunnisa, Koran Jakarta, Leni, Lukman, Mahaga, Monic, Nikko Fe, Opik, Rabiatul Adawiyah, Rizky, Rohmad, Sujar, Tedy, User_test_2, Wawan, Zaky
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 2 Bayern Munich Siap Pertahankan Laju Tak Terkalahkan di BunĀdesliga
- 3 Dishub Kota Medan luncurkan 60 bus listrik baru Minggu
- 4 Kasdam Brigjen TNI Mohammad Andhy Kusuma Buka Kejuaraan Nasional Karate Championship 2024
- 5 Kampanye Akbar, RIDO Bakal Nyanyi Bareng Raja Dangdut Rhoma Irama di Lapangan Banteng
Berita Terkini
- Banjir Rendam 4 Kecamatan di Kabupaten Bandung, 12.250 KK Terdampak
- Tanggul Jebol, Perumahan Garden City Periuk Terendam Banjir, Pemkot Tangerang Siapkan 3 Lokasi Pengungsian
- Tiongkok Perluas Penerapan Kebijakan Bebas Visa ke 9 Negara
- Presiden Prabowo Tiba di Tanah Air Usai Lawatan ke Sejumlah Negara
- Pemulung Hanyut di Sungai Citarum, BPBD Bandung dan Tim SAR Masih Lakukan Pencarian