Soekarno dan Khittah Kemerdekaan
Foto: koran jakarta/onesoleh Muhammadun
Peringatan kemerdekaan selalu menancap dalam memori kebangsaan kita sebagai perayaan hari lahirnya sebuah bangsa yang dicitakan. Sayangnya, memori itu hanya diisi dengan perayaan seremonial saja, bukan sebuah momentum memperbaharui semangat perjuangan untuk menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sudah saatnya kebiasaan seremonial ini dibongkar, sehingga lahir perspektif baru dalam memandang Indonesia.
Momentum kemerdekaan sangat tepat untuk mengenang perjuangan Soekarno dan para pendiri bangsa. Gerak hidup Soekarno dan para pendiri bangsa sudah diwakafkan untuk Indonesia, terbukti jejak sejarahnya sangat menentukan gerak sejarah Indonesia. Dengan meneladani sejarah Soekarno dan para pendiri bangsa lainnya, generasi masa depan akan mempunyai referensi perjuangan dan keteguhan keyakinan dalam mengabdikan diri bagi kemajuan bangsa.
Sebelum kemerdekaan Indonesia, Soekarno sudah bersuara lantang menentang penjajah. Pada 18 Agustus 1930, Soekarno bersama Gatot Mangkupraja, Maskun Sumadireja, dan Soepriadinata diadili di Gedung Landraad, Bandung, karena dituduh memberontak. Di ruang pengadilan rezim kolonial Belanda itulah, Soekarno yang saat itu berusia 29 tahun membacakan pembelaannya yang terkenal berjudul Indonesia Menggugat, seperti dikutip dari buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams.
Dalam ruang sidang itu, Soekarno bersuara amat lantang: "Semangat perjuangan rakyat yang berkobar-kobar akan dapat menghancurkan manusia lebih cepat daripada ribuan armada perang yang dipersenjatai lengkap. Suatu negara dapat berdiri tanpa tank dan meriam. Akan tetapi, suatu bangsa tidak mungkin bertahan tanpa kepercayaan," ujar Soekarno berapi-api di Gedung Landraad, Bandung, tahun 1930.
Dari dalam ruang pengadilan yang sempit itu, suara Soekarno seolah menembus dinding-dinding gedung yang tebal, membahana ke seantero Nusantara, menggelorakan rakyat Indonesia untuk berjuang lebih keras mengusir penjajahan dari muka bumi.
Soekarno dan kawan-kawan akhirnya dipenjarakan. "Jikalau sudah menjadi Kehendak Yang Maha Kuasa bahwa gerakan yang saya pimpin akan memperoleh kemajuan yang lebih pesat dengan penderitaan saya daripada dengan kebebasan saya, maka saya menyerahkan diri dengan pengabdian yang setinggi-tingginya ke hadapan Ibu lndonesia dan mudah-mudahan ia menerima nasib saya sebagai pengorbanan yang harum semerbak di atas pangkuan persadanya," seru Soekarno mengakhiri pembelaannya.
Gelora kebebasan yang dikumandangkan Soekarno nyatanya tidak hanya menggerakkan semangat kaum muda saat zaman pergerakan. Disadari atau tidak, pemuda dan mahasiswa hingga kini pun terus menyuarakan gugatan mereka terhadap ketidakadilan dan imperialisme gaya baru yang mengabaikan kesejahteraan rakyat. Di zaman kemerdekaan, kaum muda melawan melalui pemikiran-pemikiran kreatif terhadap kapitalisme dan kebijakan pemerintahan yang tidak berpihak kepada kaum kecil.
Kalau dulu Soekarno berjuang mengusir penjajahan kolonial Belanda, kini kaum muda harus berjuang mengusir penjajahan dalam bentuk lain, yakni kebodohan dan penguasaan ekonomi oleh asing.
Perjuangan Para Pahlawan
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya," demikian seru Soekarno dalam pidato Hari Pahlawan, 10 Nopember 1961. Jasa pahlawan akan memberikan motivasi perjuangan. Karena jasa pahlawan memberikan energi besar bagi generasi selanjutnya. Makanya, Soekarno begitu bersemangat dalam perjuangan. Semangat itulah yang menjadikan Soekarno begitu tegar dan berani dalam menentang penjajah. Lihat saja yang dikatakan,"Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia".
Selain karena pahlawan berjuang begitu tulus untuk bangsanya, dengan mengenang perjuangan pahlawan, maka bangsa ini bisa menatap masa depan bukan dengan mata buta, melainkan dengan pengamatan yang jernih dan cerdas untuk mencari peluang kemajuan dan kesejahteraan. Masa lalu sangat aktual untuk menelaah masa depan. Ini dengan tegas dinyatakan Bung Karno. "Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang," seru Soekarno dalam pidato Proklamasi, 17 Agustus 1966.
Dalam menegakkan perjuangannya, Soekarno menggugah semangat nasionalisme bangsanya dengan penuh kesungguhan. Karena bagi dia, ada perbedaan antara nasionalisme borjuis di eropa dan nasionalisme yang dianut oleh pejuang anti-kolonial di dunia ketiga: Gandhi dan Sun Yat Sen. Soekarno melihat nasionalisme di eropa itu nasionalisme borjuis, yaitu suatu 'nasionalisme yang bersifat serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi'.
Khiitah Perjuangan
Khiitah perjuangan Soekarno dan para pendiri bangsa ini semata karena sebuah pengorbanan dengan penuh ketulusan, bukan pangkat dan jabatan. Soekarno tak pernah menghitung untung dan rugi dalam pengabdiannya. Semua itu diberikan ntuk Indonesia. "Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya," seru Soekarno dalam pidato Proklamasi, 17 Agustus 1956.
Karena pengabdian tanpa memperhartikan untung dan rugi, maka kekuasaan yang diraih bukanlah untuk dirinya sendiri. Kekuasan yang sejati adalah milik rakyat, dan di atas rakyat adalah kekuasan Tuhan. Tak ada niat dalam diri Soekarno untuk menjadi penguasa sepanjang hayat. Walaupun akhir sejarah kuasanya penuh tragedi, tetapi dalam dirinya kekuasaan rakyatlah yang langgeng, bukan dirinya.
"Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa," ujar Soekarno.
Pengorbanan merupakan ciri khas para pejuang. Ciri ini yang sekarang mulai banyak luntur dari generasi masa kini. Pengorbanan hanya diartikan sangat sempit, yakni pengorbanan untuk kepentingan sesaat dan buat dirinya sendiri. Ini jelas sangat berlawanan dengan makna awalnya. Kalau sudah diselewengkan begitu, maka pengorbanan harus dikembalikan kepada makna asalnya. Penulis, Pengajar pada STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta.
Redaktur:
Penulis: Arip, CS Koran Jakarta, Dika, Dimas Prasetyo, Dio, Fandi, Fathrun, Gembong, Hamdan Maulana, Hayyitita, HRD, Ichsan Audit, Ikn, Josephine, Kelly, Khoirunnisa, Koran Jakarta, Leni, Lukman, Mahaga, Monic, Nikko Fe, Opik, Rabiatul Adawiyah, Rizky, Rohmad, Sujar, Tedy, User_test_2, Wawan, Zaky
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 2 Bayern Munich Siap Pertahankan Laju Tak Terkalahkan di BunĀdesliga
- 3 Dishub Kota Medan luncurkan 60 bus listrik baru Minggu
- 4 Kasdam Brigjen TNI Mohammad Andhy Kusuma Buka Kejuaraan Nasional Karate Championship 2024
- 5 Kampanye Akbar, RIDO Bakal Nyanyi Bareng Raja Dangdut Rhoma Irama di Lapangan Banteng
Berita Terkini
- Kanye West Digugat Bintang America's Next Top Model Atas Kasus Pelecehan Seksual dan Pencekikan
- Gunung Ibu Kembali Keluarkan Sinar Api Setinggi 350 Meter
- Nama-nama Calon Menteri Trump, dari Kepala FDA hingga Menteri Pertanian
- Presiden Prabowo Tertarik Belajar Perbesar Kapasitas SWF INA dari Uni Emirat Arab
- Banjir Rendam 4 Kecamatan di Kabupaten Bandung, 12.250 KK Terdampak