Melongok Peran Manufaktur
Foto: koran jakarta/onesOLEH DEWA GEDE SIDAN RAESKYESA, MSC
Beberapa waktu lalu, laporan Januari 2019 dari Nikkei Indonesia Manufacturing Purchasing Managers' Index (PMI) menyatakan bahwa sektor manufaktur di Indonesia menunjukkan kinerja yang agresif. Di dalam laporannya dijelaskan, Indonesia mengalami kenaikan poin dari 50,4 di bulan November ke-51,2 pada Desember tahun lalu.
Sebagai catatan, nilai PMI di atas 50 menandakan sektor manufaktur sedang ekspansi. Konsumsi dalam negeri yang meningkat dan stabil dianggap menjadi salah satu pendorong kegairahan sektor manufaktur Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong munculnya usaha-usaha baru. Tercatat, di periode 2015-2017 ada 4.433 unit usaha dan diperkirakan meningkat pada periode 2018-2019 menjadi 8.488 unit usaha.
Pertanyaannya, mengapa peran sektor manufaktur menjadi penting bagi Indonesia? Pertama karena memiliki andil cukup signifikan dalam struktur perekonomian nasional. Pada tahun 2016, sektor ini berkontribusi 20,51 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Kemudian, berdasarkan laporan Euromonitor International bulan November 2018, kontribusi manufaktur terhadap PDB meningkat menjadi 23,2 persen. Ditambah lagi, sektor ini telah menyerap 14 persen tenaga kerja dari dan menciptakan 1,5 juta pekerjaan bagi rakyat di tahun 2017.
Selanjutnya, tahun 2010 hingga 2017 industri manufaktur terus meningkat dalam menyerap tenaga kerja. Terhitung pada tahun 2010 terdapat 13,82 juta tenaga kerja dan terus bertambah hingga menjadi 17,5 juta individu yang bekerja di sektor manufaktur pada tahun 2017. Menurut Kementerian Perindustrian, peningkatan terjadi seiring pertumbuhan positif sektor industri nasional.
Pertumbuhan ini mengindikasikan sektor manufaktur masih dalam kondisi sehat dan menarik. Terdapat beberapa investor luar negeri yang tidak hanya tertarik, tetapi juga telah berinvestasi miliaran dollar AS di beberapa sektor seperti pengolahan minyak dan baja. Selain itu, para pelaku industri otomotif tetap investasi dalam jumlah besar walaupun beberapa pemain besar seperti Ford dan General Motor menarik diri dari bumi Indonesia tahun 2016 (Euromonitor International, 2018).
Hal ini menjadi wajar, seperti dijelaskan dalam website Kementerian Perindustrian. Katanya, investasi sektor manufaktur memang meningkat sebesar 23,7 persen periode 2016-2017 dengan nilai 42,6 miliar dollar AS. Selain itu, sektor ini juga menjadi primadona realisasi investasinya dibanding beberapa sektor lain seperti pariwisata, pertanian, dan perdagangan.
Ada 256 proyek perindustrian telah direalisasikan dengan nilai sebesar 21,6 miliar dollar AS. Kemudian, sektor pariwisata di tempat kedua dengan 159 proyek senilai 17 miliar dollar AS.
Dengan keadaan seperti ini, kita patut bangga karena menjadikan Indonesia sebagai negara dengan urutan keempat dari 15 negara yang kontribusi industri manufakturnya terhadap PDB mencapai lebih dari 10 persen.
Indonesia bersanding bersama Korea Selatan dengan kontribusi sektor manufakturnya sebesar 29 persen, Tiongkok (27 persen), dan Jerman (23 persen), sedangkan untuk regional ASEAN, Indonesia berada di peringkat satu.
Alasan berikutnya, berdasarkan sudut pandang teori perdagangan internasional, salah satunya dari Heckscher-Ohlin yang menjelaskan, ekspor suatu negara didasarkan pada kemampuan atau faktor-faktor produksi yang tersedia. Asumsinya, ada negara yang padat modal dan padat karya dalam investasi. Padat modal (capital intensive) berarti negara tersebut menjadikan mesin-mesin sebagai faktor produksinya dan menggunakan tenaga mesin serta teknologi dalam porsi yang lebih banyak dibanding tenaga manusia dalam memproduksi suatu barang.
Hal ini biasa terjadi di negara-negara ekonomi maju seperti Jerman dan Amerika Serikat. Sedangkan untuk kategori padat karya (labor intensive) lebih banyak memanfaatkan tenaga kerja manusia sebagai faktor produksi utama. Negara menggunakan keterampilan manusia dalam porsi yang lebih banyak dalam memproduksi suatu barang daripada mesin.
Indonesia sendiri dengan jumlah penduduk lebih dari 248 juta lebih, tentu memiliki tenaga kerja berlimpah yang menempatkan Indonesia dalam kategori kedua (padat karya). Sepatutnya menjadikan industri manufaktur padat karya sebagai prioritas utama seperti sektor pertanian, konstruksi, dan konveksi.
Kondisi SDM
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) (Februari 2018), angkatan kerja sebagian besar didominasi tingkat pendidikan di bawah akademi dan sarjana. Untuk lulusan Sekolah Dasar (SD) 25 persen (32 juta). Kemudian, lulusan SMP 18 persen (22 juta), SMU sebesar 17 persen (21 juta), dan SMK 11 persen (14 juta). Sedangkan lulusan diploma hanya 3 persen (3,4 juta) dan universitas 9 persen (11 juta).
Pengangguran juga didominasi lulusan di bawah sarjana. Pengguran lulusan SMU 24 persen (1,6 juta/terbesar), SMK 21 persen (1,4 juta), SMP dan SD masing-masing sebesar 18 persen (1,2 juta) dan 14 persen (967 ribu), sedangkan untuk pengangguran sarjana hanya 11 persen (789 ribu).
Dengan komposisi latar belakang pendidikan tenaga kerja dan pengangguran seperti ini, sektor manufaktur dapat menjadi solusi menekan pengangguran dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM). Sebab bekerja di sektor ini tidak sepenuhnya membutuhkan latar belakang pendidikan tinggi seperti diploma atau sarjana. Dengan begitu, sektor manufaktur bisa membantu perekonomian dengan pendekatan dari bawah dan berorientasi pada rakyat, sebagaimana diungkapkan ekonom Richard Koo (2018).
Ekspor manufaktur memiliki peluang meningkatkan penerimaan negara dan memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan. Hal ini terbukti dengan mendominasinya produk-produk industri dalam kegiatan ekspor tahun 2017. Tercatat, sebesar 74,10 persen ekspor berasal dari produk industri, disusul pertambangan (14,39 persen), migas (9,33 persen), dan pertanian (2,18 persen).
Dengan demikian, pemerintah bisa terus melanjutkan program penguatan pendidikan vokasi, pelatihan tenaga kerja dalam penguasaan teknologi, dan penguatan industri hilir. Dengan begitu, Indonesia menjadi mampu dan produktif dalam mengolah sumber daya alamnya menjadi bahan jadi atau setengah jadi untuk diekspor.
Hal ini juga akan berdampak pada berkurangnya ketergantungan industri pada impor bahan baku dan penolong. Indonesia harus optimistais dalam menata sektor manufaktur sebagai salah satu alat untuk mencapai kesejahteraan ekonomi rakyat.
Penulis Lulusan Johannes Gutenberg Universitat Mainz, Germany
Redaktur:
Penulis: Arip, CS Koran Jakarta, Dika, Dimas Prasetyo, Dio, Fandi, Fathrun, Gembong, Hamdan Maulana, Hayyitita, HRD, Ichsan Audit, Ikn, Josephine, Kelly, Khoirunnisa, Koran Jakarta, Leni, Lukman, Mahaga, Monic, Nikko Fe, Opik, Rabiatul Adawiyah, Rizky, Rohmad, Sujar, Tedy, User_test_2, Wawan, Zaky
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Ini Solusi Ampuh untuk Atasi Kulit Gatal Eksim yang Sering Kambuh
- 2 Kenakan Tarif Impor untuk Menutup Defisit Anggaran
- 3 Penyakit Kulit Kambuh Terus? Mungkin Delapan Makanan Ini Penyebabnya
- 4 Perkuat Implementasi ESG, Bank BJB Dorong Pertumbuhan Bisnis Berkelanjutan
- 5 Jangan Masukkan Mi Instan dalam Program Makan Siang Gratis
Berita Terkini
- Jangan Lupa Bawa Payung, DKI Jakarta Berpotensi Berawan Tebal pada Rabu Pagi dan Malam
- Berkat Kolaborasi Lintas Pihak Ini Bisa Diwujudkan Penurunan Harga Tiket Pesawat
- AS Monitor Situasi Pasca Korea Selatan Umumkan Darurat Militer
- Waspadai Inflasi Pangan pada Akhir Tahun
- Duh, Ojol Dicoret dari Penerima Subsidi BBM, Pemerintah Diingatkan Kemiskinan Baru Bisa Bertambah